Coba perhatikan, sebagian besar pejabat Gorontalo makin ke sini makin hedon dan parlente. Apakah itu berkorelasi dengan prestasi mereka memajukan daerah ini, bukan urusan saya, itu urusan para aktifis—yang besok mungkin bisa mengikuti jejak para pejabat itu ketika mereka menjadi pejabat. Mana ada orang yang mau jadi aktifis melulu. Pastilah punya mimpi jadi pejabat.
Ngomong-ngomong soal hedon dan parlente,mungkin karena pertumbuhan kelas menengah dan kelas atas di Gorontalo cukup tinggi. Banyak orang kaya baru.Elit baru. Dan, yang tak kalah menggelikkan, orang-orang biasa yang juga ingin terlihat hedon dan parlente ternyata pertumbuhannya jauh lebih cepat. Barangkali karena pernah satu provinsi dengan Manado sehingga semboyan “biar kala nasi yang penting jang kala aksi”benar-benar masih dihayati dan diamalkan. Tenang. Itu baru dugaan.
Pernah suatu ketika saya menanyakan kepada Jeksen mengapa manusia Gorontalo sekarang ini lebih sibuk bertanding hedon dan parlente dan dia cuma tersenyum kecut.
“Kalo mo lia dari ilmu kapitalisme,”katanya, “so butul bagitu itu.” Saya mengangguk dan berkata pelan, “Oo, bagitu ee.”
“Tapi,” katanya lagi, “kalo mo lia dari visi orang Gorontalo dulu, tida ada bagitu. Kelakuan bagitu itu warisan Kolonial bukan warisan leluhur.”
Saya membatin, “ah, gaga ini, co cirita kamari dulu.”
Jeksen melolos sebatang rokok dan membakarnya.Setelah tiga hisapan ia berkata pelan, “abis badiskusi traktir nasi padang ana Bang aa.” Keparat, batin saya. “Ndee oke.”
Jeksen semringah.“Bagini, ini ana langsung ke inti saja aa, sebenarnya Gorontalo ini so mengalami perubahan aksioma kebudayaan berkali-kali, Bang. Pertama, oleh Islam; kedua, oleh Kolonial.Perubahan yang pertama, kitorang pe adat jadi lebih sufistik. Raja-raja Gorontalo dulu tida punya segala kemewahan seperti pelem kerajaan di tipi-tipi. Di luar tugas pemerintahan, dorang pigi bakobong.Saat Islam merevolusi kebudayaan Gorontalo, semua struktur pemerintahan diberi sifat Ketuhanan.Artinya sederhana, bukan kemegahan, bukan kekayaan dunia yang jadi tujuan. Bagini visinya dulu itu, Bang.”
“Oke siap. Lanjut.”
“Nah semua ini berubah ketika Kolonial berhasil menguasai Gorontalo lewat Ternate. Karena kitorang ada utang jasa sama Ternate. Torang pe raja-raja sangat menghormati Ternate. Kolonial mengubah kitorang pe konsep pemerintahan. Kekuasaan raja-raja mulai dilemahkan, diberikan kemewahan, kemegahan, dijauhkan dari rakyat. Hirearki sosial mulai dibentuk. Lalu kekuasaan dialihkan kepada kapala-kapala distrik.Diberi segala atribut kebesaran ala orang Eropa. Penampilan so mewah. Elitis. Visi berubah. Di masa-masa ini depe akar lo hedon dan parlente itu mulai tumbuh., Bang.”
“Ooh, jadi bagitu ee.” Saya mengangguk sambil menyeruput kopi.
“Jadi depe kesimpulan,” kata Jeksen, “kalakuan hedon dan parlente yang ti Abang lia skarang itu sisa-sisa mental Kolonial.”
Saya hampir tersedak mendengar kesimpulan itu. “Butul olo am,” batin saya. (***)