Oleh : Jhojo Rumampuk
Sebuah isu serius tengah mengguncang Pemerintahan Kabupaten Gorontalo Utara. Nama Bupati Thariq Modanggu kembali menjadi sorotan setelah muncul dugaan adanya kesepakatan politik gelap terkait penunjukan pejabat strategis di lingkungan pemerintahannya, yang konon dikendalikan oleh aktor luar bernama Revan Putra Bangsawan.
Dokumen tidak resmi yang beredar luas menyebutkan bahwa kebijakan terkait penunjukan Sekretaris Daerah (Sekda) hingga kepala-kepala Organisasi Perangkat Daerah (OPD) bidang strategis seperti Keuangan, Pembangunan Infrastruktur, Kesehatan, Perhubungan, Pendidikan, dan Pendapatan, akan tunduk pada perjanjian pembagian “jatah”,
Thariq Modanggu: 25%
Nurjanah Yusuf: 25%
Revan Putra Bangsawan: 50%
Hal ini sontak membuat seluruh masyarakat Provinsi Gorontalo terperangah tentang beredarnya isi perjanjian kesepakatan tersebut, hingga sebagian sedang beropini liar tentang apa yang sedang terjadi di Gorontalo Utara bukan lagi pengelolaan pemerintahan, tetapi praktik franchise kekuasaan, di mana pemodal politik mendapat hak dominan atas kebijakan daerah melalui perjanjian transaksional.
Tentu semua berfikir bahwa Ini bukan lagi soal loyalitas politik, tapi bentuk konkret pengkhianatan terhadap demokrasi.
Kepemimpinan yang lahir dari suara rakyat, kini tunduk pada logika pasar kekuasaan.
Kini semua bertanya apakah Thariq Modanggu memimpin untuk siapa?
Apakah ia masih berdiri di bawah mandat konstitusi rakyat Gorut, atau telah menjadi representasi kepentingan Revan Putra Bangsawan, tokoh luar pemerintahan yang diduga kuat menjadi otak di balik arah kebijakan ?
Dalam sejumlah kesempatan, Thariq dikenal sering membanggakan kedekatannya dengan masyarakat dan komitmen terhadap pelayanan publik.
Namun realita di lapangan memperlihatkan kontradiksi. Dominasi kelompok pemodal dalam penentuan pejabat struktural, indikasi proyek yang dikunci oleh “tim tertentu”, dan keputusan-keputusan kontroversial dalam mutasi jabatan semakin menegaskan aroma kuat adanya kendali dari luar sistem.
Ketika jabatan strategis dalam pemerintahan ditentukan oleh pemodal politik, maka proses seleksi pejabat berbasis meritokrasi dikorbankan, profesionalisme ASN dikesampingkan demi balas jasa politik dan arah pembangunan tidak lagi berdasarkan kebutuhan rakyat, tapi pada skema pengembalian investasi politik.
Kondisi ini bukan hanya melemahkan birokrasi, tapi juga menghancurkan moral aparatur sipil negara dan mematikan peluang bagi figur-figur kompeten yang selama ini bekerja secara profesional.
Dengan struktur pembagian seperti yang disebutkan dalam dokumen 25% – 25% – 50%, muncul pertanyaan krusial,Apakah Gorontalo Utara telah digadaikan untuk membayar utang politik?
Jika iya, maka masa depan kabupaten ini tidak lagi berada di tangan publik, tapi di bawah kendali orang-orang yang tak pernah dipilih rakyat secara langsung.
Masyarakat Gorontalo Utara berhak mendapat penjelasan. Bupati Thariq Modanggu harus menjawab secara terbuka,
Apakah benar ada kesepakatan dengan Revan Putra Bangsawan dan Nurjanah Yusuf terkait pengisian jabatan OPD?
Apakah ada jatah pembagian keuntungan dalam pelaksanaan program daerah?
Apakah keputusan birokrasi telah dicampuri oleh aktor luar pemerintahan?
Jika Bupati memilih diam, maka diam itu dapat dimaknai sebagai konfirmasi. Demokrasi tanpa integritas hanyalah panggung sandiwara.
Kepemimpinan tanpa arah, yang tunduk pada uang dan kuasa, bukanlah pemimpin rakyat, melainkan boneka pemodal.
Gorontalo Utara tidak boleh dipimpin oleh mereka yang menjual suara rakyat demi keuntungan pribadi. Jika benar daerah ini telah tergadaikan, maka saatnya rakyat mengambil kembali kedaulatannya.
Rakyat memilih, bukan untuk dijual kembali kepada pemodal politik. Ini soal marwah demokrasi, bukan soal “bagi hasil.”