Selain Nugroho Notosusanto, tak mungkin untuk tidak menyebut nama Rosihan Anwar. Keduanya pandai menyulap omong kosong jadi kebenaran. Nama yang pertama menyulap Yamin sebagai orang yang pertama kali mengusulkan Pancasila. Tak hanya Yamin, Soepomo juga harus dianggap pengusul Pancasila. Nama yang kedua menyulap Soekarno bak pengecut, penakut. Kombinasi keduanya begitu sempurna. Soekarno dibabat tanpa ampun.
Itu dulu. Hari ini sudah berbeda. Nama baik Soekarno perlahan pulih. Salah satu sosok yang secara tidak tidak langsung mengembalikan nama baik Soekarno adalah A.B.Kusuma. Orang ini dengan gigih memburu data-data otentik yang berkaitan dengan sidang BPUPK dan PPKI lalu menuliskannya ke dalam sebuah buku berkepala, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945 (2004). Pada 2017 ia kembali menulis buku, Menggugat Arsip Nasional tentang Arsip Otentik Badan Penyelidik dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia.
Kenapa A.B. Kusuma dan bukan para politisi PDIP atau GMNI (yang dengan sembrono disebut Puthut EA berafiliasi dengan PDI-PDIP). Saya benar-benar tidak tahu kalau ada yang melakukannya. Mungkin “Doktor Pancasila”, Ahmad Basarah, bisa memberi tahu saya.
Mau sejarawan lurus macam A.B. Kusuma (yang berjasa memulihkan nama Soekarno), atau para sejarawan yang penuh omong kosong macam Nugroho Notosusanto dan Rosihan Anwar (yang terakhir ini sejarawan atau bukan, di luar tanggung jawab saya), tapi para politisilah yang lebih tahu bagaimana menggunakan hasil kerja mereka, bukan? Ya buat apa lagi selain meringkus lawan politik.
Itulah mengapa Soekarno tak suka partai politik yang isinya politisi-politisi yang sukanya saling menjatuhkan. Sehingga banyak politisi yang membencinya. Puncak kekesalan Soekarno sebenarnya sudah terlihat sebulan sebelum Konstituante dibentuk (28 Oktober dan 30 Oktober 1956)—sebelum akhirnya ia total mendirikan Demokrasi Terpimpin.
“Ke luar kita selalu berkata: bersatu, bersatu, bersatu! Bahkan aktif mempersatukan, aktif mempersatukan! Paradoks ke dalam bagaimana, saudara-saudara? Kita sikut-sikutan satu sama lain!…. Sekarang ini saudara-saudara kita terpecah belah! Dan terpecah-belah bukan hanya oleh rasa suku, bukan oleh rasa kedaerahan. Ada penyakit yang kadang-kadang bahkan lebih hebat daripada rasa suku dan rasa daerah! Yaitu penyakit apa? Penyakit kepartaian saudara-saudara! Ya, terus terang saja saudara-saudara: penyakit kepartaian!…Marilah sekarang bersama-sama kita menguburkan semua partai!”
Bagi para politisi, perkataan Soekarno ini kurang ajar. Sangat menyinggung. Para intelektual pasti akan berteriak bahwa Soekarno anti demokrasi. Itu semua terjadi karena standar demokrasi para politisi dan sarjana kita adalah partai politik, tetapi bagi Soekarno, standar demokrasinya adalah sila ketiga Pancasila: Persatuan Indonesia. ***