Scroll untuk baca artikel
Example floating
Example floating
Gocekan SuPol

Betapa Tak Bergunanya Resolusi Tahun Baru

×

Betapa Tak Bergunanya Resolusi Tahun Baru

Sebarkan artikel ini
Penulis: Susanto Polamolo, kadang berjualan buku, kadang menjadi peneliti, kadang menjadi akademikus, dan kadang-kadang nganggur.

Faktanews.com, Gocekan SuPol – Tulisan ini saya tulis di gawai, pagi-pagi sekali, di dalam mobil travel yang saya tumpangi dari Jakarta menuju rumah saya di Wangon, Banyumas. Suatu pagi di penghujung Desember 2022 yang menginspirasi. Angin dingin masuk lewat kaca samping yang saya turunkan sedikit. Saya ingin menghirup udara segar. Mobil sedang melewati daerah Tegal. Jalanan basah semalaman diguyur hujan. Dedaunan tampak kuyup. Bukit-bukit masih ditutupi kabut. Saya melirik ke arah supir dengan rasa takjub. Matanya masih segar, dan malah makin menikmati dangdut koplo yang sejak semalam playlist-nya itu-itu saja. Tak butuh waktu lama untuk terbiasa dengan semua ini karena bukan perjalanan pertama.

Saya mengambil botol minum (semi termos) di tas, airnya masih panas. Lumayan untuk menghangatkan lambung. Saya minum tiga tegukan dengan perlahan sembari membalas pesan whatsapp yang masuk semalam.

Tiga bulan terakhir saya cukup disibukkan oleh beberapa kerjaan. Tak jauh-jauh dari buku. Dan saya bersyukur, tahun ini, saya telah diambil sumpah sebagai advokat di Pengadilan Tinggi Semarang. Ini tahun yang serba mulai bergegas setelah dua tahun sebelumnya kita disandra pandemi covid. Semua orang tampak berkejaran dengan cita-cita, pula dengan saya yang tak ingin kehilangan peluang-peluang yang datang seturut cicilan. Semua orang, umumnya, mendapatkan perasaan bagus untuk apa-apa yang direncanakan di tahun ini. Apakah perasaan bagus itu akan berlanjut tahun depan? Tak ada yang tahu. Tapi pemerintah sudah tahu satu hal: tahun depan ekonomi akan gelap gulita. Setan alas!
***

Sering bolak-balik Jakarta membuat saya mulai terlihat seperti homo Jakartensis yang setengah Kampungensis (istilah-istilah aneh ini dari SGA). Sekitar enam atau tujuh tahun lalu, saya menertawakan Maulana Patra Syah, karib saya, yang memilih hijrah ke Jakarta. Lebih tepatnya saya meledeknya dengan beringas. Saya bilang, dia akan menjadi gorila lapar di sana, maka, kalau dia tidak berjuang untuk tetap cerdas, suaranya akan terdengar meraung-raung saja—bukannya menunjukkan intelektualitas manusia. Maulana hanya tersenyum menyeringai.

Sampai tiba saatnya, kira-kira seminggu yang lalu, saya melakukan video call dengannya dan lihatlah bagaimana dia tertawa lepas dan puas penuh kemenangan ketika tahu saya di Jakarta dan akan sering ke sana. Bajingan!
***

Tahun baru segera tiba. Semua orang modern mulai menyusun resolusi. Seperti yang sudah-sudah, saya tak berbakat untuk konsisten pada resolusi, walhasil resolusi kadang berubah menjadi tragedi.

Orang modern memang suka terlihat sibuk, terlihat ambisius, idealis, dan banyak omong tentang pencapaian. Orang modern sibuk pada tujuan, pada bentuk, pada simbol. Sangat jarang orang modern tertarik pada hakikat, pada jati diri, pada esensi, pada “akhir”. Mengapa demikian? Mungkin karena dunia orang modern adalah tanda seru, tak ada lagi tanda tanya.

Putra saya, Nata, berusia tiga tahun pada 21 Desember lalu. Dia sedang ada dalam usia filosofis. Dia bertanya terus-menerus tentang apa pun. Setiap jawaban yang diberikan tidak langsung diterima melainkan akan disusul dengan pertanyaan selanjutnya, sambung-menyambung, tak ada ujung. Manusia memang memiliki bakat filosofis sejak belia. Tentu saja bakat itu bikin orang dewasa pusing, tak siap. Saya pun demikian. Sering dibuat senewen.

Menjadi dewasa memang sulit, tapi lebih sulit lagi menjadi orangtua. Saya terkesan dengan nasihat ibu dari Pak Domu dalam salah satu adegan di film Ngeri-Ngeri Sedap. Begini katanya, “Kalau anak berkembang, orangtua pun harus berkembang. Menjadi orangtua itu nggak ada tamatnya. Harus belajar terus.”

Benar juga. Jangan-jangan selama ini orangtua sok dewasa macam saya malah berhenti mengembang di saat anak-anak sedang tumbuh. Saya pikir, renungan metafisis dan etis semacam ini sesekali penting, untuk membiarkan diri kita mencerna yang terjadi. Namun terlampau bijaksana dalam kehidupan modern sekarang ini rasanya tak banyak berguna.

Hidup memberikan setiap orang peran dengan tingkat kesulitan masing-masing. Tapi yang paling sulit memang adalah peran menjadi orangtua dan orang dewasa dan sembari itu kita sibuk dengan reputasi, harga diri, kedudukan, kehormatan, dan omong kosong tentang ideologi.

Orang pandai dan orang bodoh membangun harapan yang sama karena punya optimisme yang sama. Setiap tahun kita menyusun resolusi. Hasilnya hanya angka. Kalau bukan bertambah, ya, minus, dan persis di situ ex spe venit tribulationis. Angka-angka ternyata tak sanggup menciptakan kebahagiaan batin, apalagi buat membeli jati diri.

Setengah pesimis, setengah skeptis, mengapa tidak? Sebab, pada saatnya nanti, toh kita akan meninggalkan dunia ini dalam keadaan bodoh dan buruk sebagaimana kita menemukannya saat kita tiba. Yang terakhir ini bukan kata-kata saya, melainkan Voltaire.

Selamat tahun baru 2023 handai taulan. Senang secukupnya. Bahagia sekenanya. Jaga kesehatan. Teruslah belajar mengembang.
***

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Akses berita Faktanews.com dengan cepat di WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029Vae1Mtp5q08VoGyN1a2S. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya. Example 300x300
Example 120x600