Faktanews.com – Tajuk, Tambang rakyat ilegal di Kabupaten Pohuwato kini memasuki babak baru. Tambang rakyat yang telah beroperasi sudah sejak lama itu, kini kembali berpolemik.
Pada tanggal 24 September 2020 lalu, sejumlah Mahasiswa mendatangi Polda Gorontalo, DPRD Gorontalo dan Kantor Gubernur terkait tambang ilegal yang beroperasi di Pohuwato. Mereka meminta untuk menutup tambang tersebut karena telah berdampak pada kerusakan lingkungan.
Dua bulan setelah itu, kini yang melakukan aksi protesnya adalah masyarakat penambang itu sendiri. Tepatnya pada Bulan Desember (21/12/2020) lalu, mereka melancarkan aksinya didepan kantor Bupati dan DPRD Pohuwato, mendesak Pemerintah dan DPRD untuk menerbitkan Izin Pertambangan Rakyat (IPR) dan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) di Pohuwato.
Selain itu, mereka juga mendatangi Polres Pohuwato untuk meminta pihak kepolisian tidak melakukan penertiban alat berat yang beroperasi di wilayah tambang.
Yang lebih mencengangkan, dalam orasi ketua Asosiasi Penambang Republik Indonesia (APRI), dengan frontal mengungkapkan bahwa oknum Kapolres Pohuwato diduga telah menerima sejumlah uang dan emas dari hasil tambang.
Dari hasil penelusuran tim Fakta News, lokasi tambang rakyat yang berada di Pohuwato yang berada di 4 Kecamatan yaitu, Kecamatan Popayato Barat, Kecamatan Buntulia Utara, Kecamatan Taluditi, dan Kecamatan Dengilo, belum memiliki izin pertambangan atau ilegal.
Parahnya, pertambangan tersebut sudah masuk dalam Kawasan Hutan, dua diantaranya masuk pada Kawasan Cagar Alam. Lantas, siapa yang dipersalahkan pada konflik tambang tersebut?
Kami melihat, konflik ini sengaja dibiarkan, yang akhirnya berdampak pada kerusakan lingkungan dan konflik antara masyarakat penambangan dan masyarakat yang terkena dampak. Ditambah lagi dengan dugaan keterlibatan oknum kepolisian yang menerima uang dan emas dari hasil tambang menambah konflik yang terjadi.
Walaupun APRI telah melakukan rehabilitasi lingkungan, normalisasi sungai, dan pengerukan sedimentasi, tetap saja tambang rakyat yang saat ini beroperasi masih ilegal.
Harusnya masyarakat diberikan sosialiasi regulasi pertambangan rakyat. Bagaimana mendapatkan zin Pertambangan Rakyat (IPR) dan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) sebagaimana yang tertuang dalam UU Minerba.
Namun yang terjadi sangatlah bertolak belakang dengan apa yang menjadi Visi Misi dari Organisasi yang Konon katanya Membangun eksistensi APRI sebagai mitra pemerintah pusat dan daerah dalam membuka lapangan kerja untuk peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat, pengendalian lingkungan hidup, dan peningkatan pendapatan asli daerah.
DPC APRI Pohuwato malah diduga memaksa Para pengusaha dan mendesak Mitranya untuk membiarkan alat berat untuk beroperasi di wilayah pertambangan,hal tersebut adalah langkah yang salah yang dilakukan oleh APRI sebagai LSM yang bergerak di bidang pertambangan.
Pada UU No 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pengrusakan Hutan, Pasal 17 yang menyebutkan bahwa :
- Setiap orang dilarang:
a. membawa alat-alat berat dan/atau alat-alat lain
yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk melakukan kegiatan penambangan dan/atau
mengangkut hasil tambang di dalam kawasan hutan tanpa izin Menteri.
b. melakukan kegiatan penambangan di dalam
kawasan hutan tanpa izin Menteri.
c. mengangkut dan/atau menerima titipan hasil
tambang yang berasal dari kegiatan penambangan di dalam kawasan hutan tanpa izin.
d. menjual, menguasai, memiliki, dan/atau
menyimpan hasil tambang yang berasal dari
kegiatan penambangan di dalam kawasan hutan
tanpa izin, dan atau.
e. membeli, memasarkan, dan/atau mengolah hasil tambang dari kegiatan penambangan di dalam
kawasan hutan tanpa izin. - Setiap orang dilarang:
a. membawa alat-alat berat dan/atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk melakukan kegiatan perkebunan dan/atau mengangkut hasil kebun di dalam kawasan hutan tanpa izin Menteri.
b. melakukan kegiatan perkebunan tanpa izin Menteri di dalam kawasan hutan.
c. mengangkut dan/atau menerima titipan hasil
perkebunan yang berasal dari kegiatan perkebunan
di dalam kawasan hutan tanpa izin.
d. menjual, menguasai, memiliki, dan/atau
menyimpan hasil perkebunan yang berasal dari
kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa izin, dan atau.
e. membeli, memasarkan, dan/atau mengolah hasil kebun dari perkebunan yang berasal dari kegiatan.
Jika mengacu pada poin di atas, maka tidak secara langsung ketua APRI telah menjebak dan meminta masyarakat untuk melanggar ketentuan pasal 17 UU No 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pengrusakan Hutan.
Kami berharap, konflik ini segara mendapatkan solusi sebelum rakyat yang akan menjadi korban dan memperparah kerusakan lingkungan di Kabupaten Pohuwato. (Bersambung)
Penulis : Fadli Thalib