Oleh : Igrifan Hasan | Ketua APRI Provinsi Gorontalo
Kisruh antara Kapolres Boalemo dan Marten Yosi Basaur, seorang pelaku tambang emas ilegal (PETI) di wilayah Boalemo dan Pohuwato, kini bukan hanya sekadar perseteruan personal.
Ini telah menjelma menjadi drama besar yang membuka borok lembaga penegak hukum di Gorontalo, dari tingkatan bawah hingga pucuk tertinggi.
Bagaimana mungkin seorang pelaku tambang ilegal, yang jelas-jelas melawan hukum dan merusak lingkungan, berani tampil ke publik dengan penuh percaya diri, melempar pernyataan-pernyataan menohok yang menyebut dugaan aliran uang kepada oknum-oknum polisi dari Polres hingga Polda Gorontalo?
Dan lebih anehnya lagi, tidak ada satu pun tindakan nyata dari institusi yang katanya menjunjung tinggi penegakan hukum.
Pernyataan Marten bukan bisik-bisik di warung kopi. Ia menyebut dua oknum perwira di Polda Gorontalo yang diduga menerima setoran ratusan juta rupiah dari aktivitas ilegalnya. Ia melakukannya tanpa rasa takut, seolah-olah dilindungi oleh sesuatu yang lebih besar dari hukum itu sendiri.
Dan kita semua pun mulai menduga, kalau seorang pelaku kejahatan bisa bicara seberani itu, apakah karena dia merasa tak akan tersentuh?
Apakah benar ada jaring perlindungan tak terlihat yang membuatnya tetap bebas berkeliaran, sementara aparat seolah sibuk menyusun alibi?
Pasal 184 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) secara eksplisit menyebut bahwa hal yang secara umum diketahui tidak perlu dibuktikan.
Dalam konteks PETI yang sudah berlangsung bertahun-tahun, bahkan diliput media dan disuarakan aktivis, tidak ada lagi alasan untuk pura-pura tidak tahu.
Namun yang terjadi justru sebaliknya. Selalu saja muncul alasan baru untuk tidak bertindak. Alibinya, tidak bisa ditindak karena belum tangkap tangan.
Benarkah harus begitu? Apakah tambang ilegal sekarang harus diperlakukan seperti kasus judi dan narkoba, yang harus ditangkap saat transaksi?
Apakah logika hukum kini dikacaukan secara sengaja, agar publik kebingungan dan akhirnya berhenti bertanya?
Yang lebih menyedihkan lagi adalah, Kapolda Gorontalo yang harusnya jadi garda terdepan justru memilih bungkam. Dalam situasi yang semakin keruh, beliau seperti sedang menunggu waktu pensiun tiba, tanpa ingin meninggalkan kontroversi terbuka.
Pertanyaannya sederhana, Apakah Kapolda benar-benar tidak tahu, atau sengaja tidak mau tahu?
Kalau Kapolda tahu dan membiarkan, maka ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap tugas dan kehormatan seragam.
Tapi kalau Kapolda tidak tahu, maka itu mencerminkan kegagalan total dalam fungsi pengawasan dan komando. Dan dalam dua-duanya, masyarakat tetap jadi korban.
Menyelamatkan Marten atau Menyelamatkan Diri?
Jika Polda Gorontalo masih punya sisa-sisa kehormatan, maka sudah waktunya menanggalkan rasa takut dan rasa sungkan, lalu bertindak tegas atas tudingan-tudingan serius ini.
Tangkap dan proses Marten, periksa semua oknum yang disebut, buka penyelidikan terbuka agar publik kembali percaya.
Kalau tidak, maka kita akan menyaksikan penghancuran total kepercayaan publik terhadap aparat, dan membiarkan tambang ilegal tidak hanya menggerus alam Gorontalo, tetapi juga mengikis harga diri institusi Polri dari dalam.
Dan kalau semua ini dibiarkan terus, maka di mata masyarakat, hukum tak lebih dari panggung sandiwara, dan aparat hanyalah figuran yang ikut tertawa di balik layar.
Lalu publik juga berhak bertanya, Apakah yang sedang dijaga saat ini adalah nama baik institusi, atau rahasia kotor seorang Marten Basaur?
Apakah ada kekuatan besar di balik Marten yang membuat semua pihak memilih bermain aman?
Jika benar ada upaya sistematis untuk membungkam, menunda, atau menggiring opini publik agar melupakan kasus ini, maka jelas, institusi hukum kita sedang diracuni dari dalam.