Oleh : Nasihin Masha | Wartawan Senior
Faktanews.com – Opini. Pilkada atau pemilu adalah momen rakyat menentukan siapa yang berhak mengemban amanah mereka. Itulah moment of the truth. Karena pemegang mandat rakyat tersebut akan menentukan masa depan mereka: bagaimana pangannya, bagaimana kesehatannya, bagaimana pendidikannya, bagaimana keselamatannya, bagaimana hak-hak sipilnya, bagaimana perumahannya, bahkan bagaimana kematiannya pun tetap terurus. Karena itu, dalam demokrasi modern, bahkan dalam sistem politik modern, pemilu dan pilkada adalah peristiwa sakral. Peristiwa suci yang harus dijaga kemurniannya. Segala kemungkinan masuknya kekotoran harus dijaga dari segala pintu. Itulah upaya menggapai primus inter pares, yang utama di antara yang setara – bukan mencari gelap di kegelapan.
Gagasan demokrasi modern sudah muncul sejak abad ke-17, melalui gagasan John Locke, Montesquieu, maupun Rousseau. Namun baru benar-benar terwujud pada abad ke-18 melalui Revolusi Amerika Serikat (1776) dan Revolusi Prancis (1789). Lalu menyebar dengan cepat setelah Perang Dunia II. Sebelum itu, sistem politik dijalani dengan sistem monarki. Hanya keluarga raja dan para ningrat yang bisa duduk di pemerintahan. Melalui sistem Republik – yang bentuk prototipenya sudah ada sejak era Yunani-Romawi – maka siapapun bisa duduk di pemerintahan.
Saat para pendiri bangsa bersidang merumuskan bentuk negara di BPUPK, sempat muncul usulan bahwa negara Indonesia nanti berbentuk kerajaan. Namun gagasan itu tidak laku. Di sejumlah negara Eropa seperti Inggris, Denmark, Belanda, dan lain-lain sistem kerajaan tetap dipertahankan, namun dikombinasikan dengan sistem demokrasi. Hanya saja, raja hanya sebagai simbol dan kepala negara. Sedangkan kepala pemerintahan bisa siapa saja.
Pada April 2024 lalu, untuk kali pertama Indonesia menerapkan pemilihan kepala daerah (pilkada) secara serentak. Inilah eksperimen pertama. KPU/KPUD, Bawaslu/Bawasluda, DKPP, dan juga MK yang biasanya sepanjang tahun mengurusi perkara pilkada, selanjutnya hanya sekali saja bekerja dalam lima tahun. Bagi negara korup seperti Indonesia, ini bisa bermakna “hujan” hanya sekali terjadi dalam lima tahun. Cilaka.
Gorontalo Utara
Gorontalo Utara (Gorut) adalah salah satu kabupaten di Provinsi Gorontalo. Kabupaten ini terbentuk secara resmi pada 2 Januari 2007. Kabupaten ini merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Gorontalo. Gorut terdiri atas 11 kecamatan dan 124 desa. Luasnya 1.703,06 km persegi. Penduduknya berjumlah 132,78 ribu jiwa, jumlah penduduk terkecil di Provinsi Gorontalo, yaitu 10,81 persen dari total populasi di provinsi ini. Gorut memiliki 55 pulau-pulau kecil. Jumlah pemilih di Gorontalo Utara adalah 92.601 orang, yang tersebar di 245 TPS.
Mari kita lihat lebih lanjut kabupaten ini. Pertumbuhan ekonomi Gorut pada 2024 hanya 4,17 persen. Lebih rendah dari Bone Bolango yang 4,19 persen atau Kota Gorontalo yang 4,36 persen. Namun lebih tinggi dari Boalemo (3,54 persen), Kabupaten Gorontalo (4,10 persen), dan Pohuwato (4,03 persen)– tiga kabupaten lainnya di Provinsi Gorontalo. Pada 2024, skor Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Gorut adalah 68,83, paling rendah se Provinsi Gorontalo (skor IPM provinsi pada 2023 saja adalah 71,25). Skor IPM Pohuwato 70,19, Boalemo 69,34, Kabupaten Gorontalo 70,96, Bone Bolango 72,82, dan Kota Gorontalo 79,18. Adapun persentase penduduk miskinnya, pada 2024, mencapai 16,86 persen.
Berdasarkan data BPS tahun 2022, pendapatan Gorut adalah yang terkecil di Provinsi Gorontalo, yaitu hanya Rp 733,5 miliar. Bahkan pada 2023 turun menjadi Rp 707,8 miliar. Sedangkan semua daerah lain mengalami peningkatan. Adapun pendapatan per kapita Gorut adalah Rp 33,24 juta per kapita per tahun, pada 2024. Bandingkan dengan pendapatan per kapita provinsi yang mencapai Rp 42,35 juta, itupun pada 2023. Jadi angka Gorut cukup rendah.
Itulah Gambaran tentang Gorontalo Utara. Pada pilkada 27 November 2024, ada tiga pasang calon yang ikut. Pasangan 01 adalah Roni Imran – Ramdhan Mapaliey (Nasdem-Gerindra), pasangan 02 adalah Thariq Modanggu – Nurjanah Hasan Yusuf (Golkar-Golkar), dan pasangan 03 adalah Ridwan Yasin – Muksin Badar (PDIP). Pasangan nomor 01 menang telak meraih 54,89 persen, disusul 02 yang meraih 38,41 persen, dan 03 mendapat 6,7 persen. Namun pasangan 02 menggugat pasangan 03 tentang syarat calon Ridwan yang dinilai tak memenuhi ketentuan perundangan. Gugatan diajukan ke Mahkamah Konstitusi. Gugatan tersebut dikabulkan, namun putusannya harus dilakukan Pemungutan Suara Ulang (PSU). Pasangan 01 yang tidak digugat tak bisa berbuat apapun. Yang menggugat yang kalah, yang digugat yang kalah, namun yang dirugikan yang menang. Sungguh putusan yang menurut bahasa netizen sangat membagongkan – membingungkan dan menunjukkan nalar hukum yang absurd. MK juga memerintahkan agar nama Ridwan Yasin harus diganti dengan calon lain. Bagaimana kesalahan pasangan nomor 03 yang perolehannya 6,7 persen bisa menghancurkan pasangan nomor 01 yang meraih 54,89 persen, dan hal itu atas gugatan pasangan nomor 02.
Maka terjadilah PSU pada 19 April 2025. Hasilnya, pasangan nomor 01 meraih 47,89 persen, pasangan nomor 02 mendapat 51,5 persen, dan pasangan 03 menggapai 0,58 persen. Nama Ridwan Yasin digantikan oleh Mohamad Siddik Nur. Kali ini pasangan 02 yang menang. Pasangan 01 melakukan sejumlah langkah. Mereka menilai ada sejumlah kecurangan.
Pertama, pasangan 01 menemukan 280 kasus money politics dengan 310 saksi yang tersebar di 9 kecamatan. Mereka mengadukan ke Bawaslu dan Gakumdu. Namun hanya ada enam orang yang ditetapkan sebagai tersangka. Mereka adalah para kepala desa, ASN, ada pula yang kepala sekolah, anggota DPRD, dan pengurus partai. Selain itu, ada juga oknum militer. Kedua, mengadukan ke Bawaslu Provinsi tentang kecurangan money politics yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif (TSM – makna TSM adalah melibatkan struktur politik, dilakukan dengan strategi tertentu, dan memiliki dampak signifikan). Namun Bawaslu menolak gugatan tersebut. Ketiga, mengadukan ke DKPP tentang dugaan pelanggaran etik yang dilakukan semua komisioner Bawaslu Provinsi karena bertemu dengan ketua tim pemenangan 02. Patut diduga terjadi persekongkolan politik untuk memenangkan pasangan 02. Karena itu tak heran jika pengaduan ke Bawaslu Kabupaten dan Bawaslu Provinsi menghasilkan putusan yang dinilai menguntungkan pasangan 02.
Keempat, mengadukan ke MK. Ada dua hal yang diadukan, yaitu tentang kecurangan dan money politics yang bersifat TSM serta ada masalah dengan ijazah calon wakil bupati Nujanah Hasan Yusuf dari pasangan 02. Namun seperti pada putusan sebelumnya, putusan MK menguntungkan pasangan 02. Kelima, mengadukan soal ijazah bermasalah tersebut ke kepolisian. Hingga kini, Nurjanah masih belum memenuhi panggilan polisi untuk dimintai keterangan tentang ijazahnya tersebut. Apakah ini sengaja mengulur waktu hingga pelantikan terjadi dan situasi politik saat itu menjadi berubah?
Keterlibatan Investor Baru
Secara teoretis, berdasarkan pengalaman di pilkada dan hasil survei, tidak ada perubahan pilihan jika tidak ada suatu peristiwa yang signifikan. Hasil survei pun menunjukkan bahwa pasangan 01 akan memenangkan PSU, bahkan suaranya akan naik. Namun yang terjadi sebaliknya. Pasangan 02 melonjak drastis, dari meraih 38,41 persen melejit ke 51,5 persen. Ada penambahan 13,09 persen dalam waktu singkat.
Ada dua faktor penyebabnya. Pertama, masyarakat Indonesia bersifat paternalistik. Pasangan 02 menggunakan kepala desa maupun tokoh masyarakat yang memiliki kuasa seperti kepala sekolah maupun aparat. Karena itu, pasangan 01 berhasil melakukan tangkap tangan dan juga melakukan pengaduan terhadap perilaku para kepala desa tersebut. Mengapa mereka mau? Nanti ada penjelasannya. Kedua, faktor uang. Berdasarkan tangkap tangan tersebut serta penetapan tersangka oleh kepolisian memang ada dugaan penggunaan uang.
Mengapa hal ini terjadi? Bagi pegiat politik di Gorontalo, semua paham belaka bahwa hal ini terjadi karena hadirnya “investor” baru dalam pilkada Gorut. Investor ini adalah orang yang sama dalam pilkada di Bone Bolango. Secara terbuka, ia membagi-bagikan uang ke masyarakat, bahkan dalam bentuk dolar Amerika Serikat. Lalu mengapa Bawaslu diam saja? Mungkin mereka takut dan juga mungkin “suka”. Sang investor oleh masyarakat Gorontalo dikenal sebagai anggota telik sandi. Dengan ilmu yang dimiliki, dengan keterampilan yang ada, dan dengan jejaring yang dikuasai, tentu gampang saja untuk melakukan semua itu – bahkan secara telanjang. Tentu ini sejenis sampah dan kekotoran yang celakanya mendapat pelatihan dari negara yang uangnya dari keringat rakyat yang suci. Dan dia melakukannya bukan atas nama institusi.
Semua inilah yang sebetulnya ingin dibuktikan oleh pasangan 01 di persidangan. Namun semua tahu, negeri ini adalah negeri yang korup. Kasus-kasus hakim MK maupun hakim MA yang terpidana sudah banyak terjadi. Namun sampai kapan hal ini akan terus dibiarkan. Mungkin menunggu sampai negeri ini rusak seperti dulu pernah dialami negara-negara Amerika Latin. Para bandit di negara-negara itu pun umumnya lahir dari daerah. Di negara yang lemah, daerah adalah persemaian yang paling bagus untuk melahirkan segala jenis war lord. Dan Indonesia sudah mulai menuainya dengan lahirnya war lord lokal yang kemudian masuk ke nasional. Para war lord tersebut mulai meraksasa dengan merampas mandat rakyat. Kisah Escobar di Kolumbia sudah menjadi legendaris. Mungkin di Indonesia tak lama lagi.
Kisah tragis di Gorontalo Utara ini merupakan ironi bagi sejarah Gorontalo yang penuh kisah heroik dan kepahlawanan. Di saat daerah-daerah lain mengalami kebingungan menghadapi pergantian penjajah dari Belanda ke Jepang, Nani Wartabone dan kawan-kawan memproklamirkan kemerdekaan. Di saat wakil-wakil rakyat dari negara-negara boneka Belanda membebek, Ajoeba Wartabone dari Negara Indonesia Timur berteriak, “Sekali ke Jogja Tetap ke Jogja”. Maksudnya, ia memilih menjadi bagian dari Republik Indonesia, dibandingkan ikut Belanda. Ironisnya lagi, Ajoeba dan Nani berasal dari wilayah yang kini menjadi bagian dari Bone Bolango, yang saat ini, Bone Bolango adalah wilayah pertama yang dibelokkan dari nilai heorisme oleh orang non-Gorontalo. Apakah putra-putri Gorontalo akan diam saja menghadapi pembelokan kepahlawanan Gorontalo ini? Katanya sih tidak. Betulkah?