Oleh : Harvey Tangahu || Penambang Lokal Bone Bolango
Suwawa, sebuah nama yang tak asing dalam peta perjuangan tambang rakyat di Gorontalo. Di balik nama itu, tersembunyi sejarah panjang tentang bagaimana masyarakat menggali harapan dari perut bumi, bukan dengan alat berat, tapi dengan tekad dan keberanian.
Dan semua itu dimulai pada bulan Mei tahun 1990, ketika Presiden Soeharto mencabut izin perusahaan tambang besar yang beroperasi di area Motomboto Cs. Keputusan itu menjadi babak baru: lahirnya tambang rakyat Suwawa.
Bulan Desember tahun yang sama, dua tokoh penambang rakyat memulai langkah yang kelak menjadi legenda. Mereka mendatangi sebuah lokasi yang kini dikenal sebagai titik bor 17, tempat di mana batuan mengandung logam emas terlihat nyata di atas permukaan tanah.
Lokasi itu mereka ketahui saat masih bekerja sebagai karyawan di perusahaan tambang Yutafasific. Dari pengetahuan teknis yang mereka miliki, lahirlah keyakinan bahwa Suwawa menyimpan harta karun alam untuk rakyat.
Ketika hasil mulai didapat, keduanya tak berjalan sendiri. Mereka kembali ke lokasi bersama lima rekan lainnya, memulai sebuah tradisi tambang rakyat yang berlangsung turun-temurun.
Dari perjalanan itu, emas yang mereka gali menjadi tumpuan hidup bagi anak, cucu, dan seluruh masyarakat Bone Bolango. Suwawa bukan sekadar tambang, tapi sumber kehidupan.
Namun, perjuangan rakyat tak pernah berjalan mulus. Meski izin perusahaan telah dicabut, kawasan tambang masih dijaga aparat kepolisian. Tapi masyarakat tak berhenti.
Dengan segala keterbatasan, aktivitas tambang rakyat terus berlangsung. Sampai akhirnya, pada tahun 1997, perusahaan kembali mencoba beroperasi di wilayah Motomboto.
Tapi sejarah kembali berpihak pada rakyat, karena aktivitas itu dihentikan oleh petugas kawasan hutan.
Alasannya jelas: lokasi yang mereka bor adalah bagian dari Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBW), sebuah kawasan yang dilindungi dan tak boleh dijadikan area eksploitasi industri.
Ironisnya, alasan TNBW yang dulu menjadi penghalang perusahaan justru tak berlaku ketika rakyat yang menggali untuk hidup. Mereka menggali bukan untuk menumpuk kekayaan, tapi untuk bertahan hidup.
Suwawa adalah bukti bahwa tambang rakyat lahir dari perjuangan, bukan pemberian. Ia bukan sekadar kisah emas di perut bumi, tapi kisah perlawanan terhadap ketimpangan, dan keberanian untuk menggenggam nasib di tanah sendiri.
Di tengah tekanan investasi dan ancaman korporasi besar, sejarah Suwawa menjadi pengingat bahwa tambang rakyat bukan musuh pembangunan, mereka adalah bagian dari sejarah yang tak boleh dilupakan.
Perlawanan rakyat tak terelakkan. Mereka mempertahankan tanah kelahiran dan sumber penghidupan hingga tetes darah terakhir. Tapi sejarah terus berulang, rakyat harus kembali menghadapi ketidakjelasan dan intimidasi terselubung.
Belakangan, muncul papan-papan peringatan di Titik Bor 1, 3 dan 9, lokasi yang sejak dulu menjadi bagian dari tambang rakyat. Anehnya, ketika para tokoh penambang mempertanyakan keabsahan papan tersebut, pihak PT. Gorontalo Minerals justru menyatakan bahwa itu bukan dari mereka.
Lalu siapa yang memasang papan peringatan itu?
Sebuah pertanyaan yang menggantung dan mengguncang rasa percaya rakyat.
Jika bukan dari perusahaan, mungkinkah ada tangan-tangan tak terlihat yang bermain?
Apakah ini bagian dari skenario sistematis untuk menggusur masyarakat penambang secara perlahan?
Suwawa adalah saksi bisu dari perjalanan panjang rakyat Bone Bolango dalam menggenggam haknya sendiri.
Kini, mereka kembali ditantang: melawan, bertahan, atau disingkirkan oleh sistem yang lebih peduli pada investasi ketimbang kelangsungan hidup rakyat.
Rakyat tak meminta banyak, hanya sepetak tanah untuk hidup dan sejumput keadilan yang selama ini dijanjikan.
Jika negara tak mampu menjawab, maka rakyat akan tetap berdiri. Di tanah ini. Dengan tangan mereka sendiri. Seperti dulu, seperti selalu.