Scroll untuk baca artikel
Example floating
Example floating
Tajuk

Bupati “Peternak Berengos” Yang Ingin Jadi Penguasa Tunggal

×

Bupati “Peternak Berengos” Yang Ingin Jadi Penguasa Tunggal

Sebarkan artikel ini
Oleh : Jhojo Rumampuk

Di suatu daerah yang dipimpin oleh seorang bupati sombong, seorang pria berengos yang kini menjelma menjadi penguasa rakus terjadi sebuah drama kekuasaan. 

Dengan kerakusan dan ketamakannya, sang bupati berupaya mengambil alih anggaran kehumasan. 

Alasannya? Bukan untuk kepentingan rakyat, melainkan karena ketakutannya terhadap lembaga perwakilan rakyat yang seharusnya menjalankan fungsi kontrol.

Seperti halnya seorang peternak yang ingin memastikan semua hewan di kandangnya tunduk, bupati ini tak ingin ada suara lain yang bisa mengoreksi kebijakannya. 

Baginya, kontrol penuh atas anggaran berarti kontrol penuh atas narasi. Jika kehumasan ada di tangan eksekutif, maka tidak ada ruang bagi DPRD untuk bersuara lebih keras. 

Tidak ada kritik, tidak ada pertanyaan, hanya satu suara. Suara sang bupati.

Lantas, apakah peralihan anggaran ini benar-benar demi efektivitas pemerintahan? 

Atau hanya dalih untuk membungkam DPRD agar tak punya daya tawar dalam menyuarakan kepentingan rakyat? 

Bukankah dalam sistem demokrasi, legislatif dan eksekutif harus memiliki keseimbangan kekuasaan?

Yang lebih mengkhawatirkan adalah dampak jangka panjangnya. Jika praktik ini dibiarkan, maka demokrasi lokal akan mati perlahan-lahan. 

DPRD bukan lagi lembaga independen yang bisa mengawasi jalannya pemerintahan, melainkan hanya jadi penonton yang tak punya kuasa. 

Sementara sang bupati peternak berengos semakin nyaman duduk di singgasananya, mengatur segalanya sesuai keinginannya sendiri.

Jika demikian, maka bupati ini tak lebih dari seorang yang ingin memusatkan kekuasaan dengan mengorbankan demokrasi lokal. 

Dan jika ini terjadi, maka jangan heran jika suatu hari nanti, bupati bukan hanya menguasai anggaran, tetapi juga menguasai pikiran dan suara mereka.

Seorang bupati yang berupaya mengambil alih kewenangan legislatif dalam pengelolaan anggaran bisa jadi memiliki motif terselubung. 

Bisa jadi ia ingin memperkuat kontrol penuh terhadap keuangan daerah demi kepentingan politik atau mengamankan kebijakan tertentu tanpa banyak perdebatan dari Rumah Rakyat. 

Lebih jauh, peralihan ini bisa menjadi indikasi ketakutan bupati terhadap potensi pengawasan yang lebih ketat dari legislatif.

Jika legislatif memiliki akses langsung terhadap anggaran, mereka lebih bebas dalam menjalankan fungsi kontrol terhadap eksekutif. 

Namun, jika anggaran mereka dikuasai oleh bupati, ada kemungkinan besar kebijakan DPRD menjadi lebih kompromistis karena bergantung pada persetujuan eksekutif.

Jika alasan yang digunakan adalah efisiensi dan penyederhanaan birokrasi, mengapa baru sekarang dilakukan? 

Apakah ada ketakutan terhadap transparansi penggunaan anggaran oleh Rumah Rakyat, atau justru si pria berengos itu ingin mengendalikan penuh aliran dana demi kepentingan politiknya sendiri?

Jangan sampai tindakan tersebut justru melemahkan fungsi Rumah Rakyat sebagai perwakilan rakyat dan menjadikan bupati sebagai satu-satunya pengendali kekuasaan di daerah. 

Jika demikian, maka bupati tak lebih dari seorang “Peternak Berengos” yang ingin memusatkan kekuasaan dengan mengorbankan demokrasi lokal.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Akses berita Faktanews.com dengan cepat di WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029Vae1Mtp5q08VoGyN1a2S. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.Example 300x300
Example 120x600