Oleh : Jhojo Rumampuk
Kasus dugaan korupsi di Indonesia dan khususnya Provinsi Gorontalo sering kali dianggap selesai ketika sudah mendapatkan putusan pengadilan.
Namun, dalam banyak persidangan, tidak jarang muncul novum baru yang mengarah pada tindakan gratifikasi. Mulai dari aliran dana ilegal, pemberian fasilitas, hingga hadiah dalam bentuk lain kepada pejabat atau pihak tertentu.
Ironisnya, temuan-temuan tersebut kerap menguap tanpa tindak lanjut yang jelas.
Pertanyaannya, apakah ini murni kelemahan sistem hukum atau ada oknum Aparat Penegak Hukum (APH) yang bermain di balik layar?
Secara teoritis, sistem hukum Indonesia khususnya Provinsi Gorontalo telah memiliki perangkat yang cukup untuk menangani kasus gratifikasi.
Undang-Undang Tipikor jelas mengatur bahwa setiap pemberian yang terkait jabatan bisa dianggap sebagai gratifikasi ilegal. Namun dalam praktiknya, sejumlah tantangan besar muncul, antara lain.
Bukti baru yang muncul dalam persidangan sering kali tidak menjadi perhatian utama penegak hukum. Alih-alih ditelusuri lebih lanjut, novum tersebut malah dianggap “tidak relevan” atau sengaja diabaikan.
Tidak dapat dipungkiri bahwa ada oknum APH yang diduga bermain mata dengan pelaku korupsi. Dalam beberapa kasus, adanya suap untuk menghentikan penyelidikan gratifikasi menjadi rahasia umum.
Mengungkap gratifikasi tidak sekadar menemukan bukti pemberian uang atau barang, tetapi juga harus membuktikan niat dan kaitannya dengan jabatan penerima. Proses pembuktian ini kerap digunakan sebagai celah oleh pelaku untuk lolos dari jerat hukum.
Pelapor gratifikasi sering kali menghadapi intimidasi, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Hal ini membuat banyak orang enggan melaporkan kasus semacam itu.
Jika situasi ini terus berlangsung, kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum akan semakin tergerus.
Perlu ada upaya konkret, baik dari segi reformasi sistem hukum maupun peningkatan integritas APH.
Penanganan kasus gratifikasi harus menjadi prioritas, bukan sekadar pelengkap dalam perkara korupsi.
Tanpa itu, perjuangan melawan korupsi hanya akan menjadi drama panjang tanpa akhir, di mana hukum tidak lagi menjadi alat keadilan, tetapi panggung permainan kepentingan.
Contoh Kasus;
Dalam persidangan kasus dugaan korupsi proyek Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) Dungingi yang digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Kota Gorontalo pada Kamis, 5 Juli 2024, nama Ketua DPRD Kota Gorontalo, Irwan Hunawa, mencuat sebagai salah satu pihak yang disebut terlibat.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) menghadirkan dua saksi kunci dalam persidangan, yaitu Direktur PT. Raya Sinergis, Robert Christian Tan, dan kontraktor proyek.
Dalam keterangannya di hadapan majelis hakim, Robert mengungkapkan bahwa Irwan Hunawa, yang saat itu menjabat sebagai Ketua Komisi C DPRD Kota Gorontalo, diduga berperan aktif dalam proses pengondisian proyek tersebut.
Robert menjelaskan bahwa Rahmat Ali, seorang mediator, menjadi penghubung antara dirinya dan Irwan Hunawa. Pertemuan mereka berlangsung di beberapa tempat, termasuk kantor DPRD dan rumah pribadi Irwan Hunawa.
“Sejak awal proses lelang proyek ini, sudah ada upaya untuk mengarahkan pemenang tender. Dalam pertemuan tersebut, Irwan Hunawa meminta 11 persen dari nilai kontrak proyek. Karena sudah ada kesepakatan sebelumnya, saya menyanggupi permintaan itu,” ungkap Robert di hadapan hakim.
Lebih lanjut, Robert menyebut bahwa Irwan Hunawa meminta uang sebesar Rp 145 juta sebagai pembayaran awal untuk memastikan hasil tender tidak berubah selama masa sanggah.
“Saya diminta segera membayarkan Rp 145 juta karena meskipun sudah diumumkan menang, masih ada masa sanggah yang bisa membatalkan kemenangan,” tambah Robert.
Meski fakta persidangan ini telah terang benderang, hingga kini pihak Kejaksaan Negeri (Kejari) Kota Gorontalo belum mengambil langkah penyelidikan lebih lanjut terkait keterlibatan Ketua DPRD tersebut.
Kondisi ini menimbulkan pertanyaan besar terkait keseriusan aparat penegak hukum dalam menangani kasus dugaan korupsi yang melibatkan pejabat daerah.
Fakta persidangan yang seharusnya menjadi dasar pembuka penyelidikan baru justru diabaikan.
Kasus ini menggambarkan dilema klasik dalam pemberantasan korupsi di Provinsi Gorontalo, keberanian saksi dan fakta persidangan sering kali tidak cukup untuk memicu tindakan hukum.
Masyarakat tentu berharap Kejari Kota Gorontalo segera menunjukkan komitmennya dalam mengusut tuntas perkara ini tanpa tebang pilih.
Jika tidak, kasus ini akan menjadi contoh nyata betapa sulitnya menegakkan keadilan ketika oknum pejabat memiliki pengaruh kuat dalam proses hukum.