Scroll untuk baca artikel
Example floating
Example floating
Tajuk

PETI Popayato, Simbol Perjuangan yang Tercoreng Dan Sikap Pengecut Aparat Penegak Hukum

×

PETI Popayato, Simbol Perjuangan yang Tercoreng Dan Sikap Pengecut Aparat Penegak Hukum

Sebarkan artikel ini
Oleh : Jhojo Rumampuk || Ketua DPD PJS Gorontalo

Peringatan Hari Patriotik 23 Januari 2025, yang menjadi simbol perjuangan dan kebebasan masyarakat Gorontalo sejak 1942, seharusnya membawa kebanggaan dan harapan bagi setiap lapisan masyarakat. 

Namun, kenyataan di Popayato, Kabupaten Pohuwato, menggambarkan ironi yang menyakitkan. 

Sementara momen ini mengingatkan kita pada keberanian rakyat Gorontalo melawan ketidakadilan kolonial, masyarakat Popayato justru menghadapi ketidakadilan lain yang hadir dalam bentuk pembiaran terhadap Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI).

Ketika masyarakat Gorontalo mengenang keberanian leluhur mereka, sikap pengecut yang ditunjukkan oleh Aparat Penegak Hukum (APH) dalam menindak PETI di Popayato menjadi cerminan buruk atas nilai perjuangan yang diwariskan. 

Keberanian yang semestinya dimiliki oleh APH kini tergantikan oleh ketidakpedulian, atau bahkan dugaan keterlibatan, yang membuat masyarakat semakin kehilangan kepercayaan terhadap hukum.

PETI di Popayato telah menjadi luka terbuka yang terus dibiarkan memburuk. Aktivitas ilegal ini tidak hanya merusak lingkungan secara signifikan, tetapi juga menciptakan penderitaan bagi masyarakat sekitar. 

Kerusakan hutan, pencemaran air sungai, dan penggunaan bahan kimia berbahaya seperti merkuri berdampak langsung pada kesehatan dan kesejahteraan masyarakat.

Ironisnya, Pelaku PETI terus beroperasi tanpa hambatan. Dalam situasi ini, simbol perjuangan dan kebebasan yang diusung pada Hari Patriotik terasa jauh dari kenyataan yang dialami masyarakat Popayato.

Hari Patriotik 23 Januari adalah peringatan keberanian rakyat Gorontalo yang melawan penjajahan, melawan kekuatan besar demi keadilan dan kebebasan. 

Sayangnya, keberanian ini tidak tercermin pada sikap APH dalam menangani PETI di Popayato.

Ketika suara lantang tentang aktivitas PETI terus bermunculan, yang dibutuhkan masyarakat bukanlah pembiaran atau alibi kosong, melainkan tindakan nyata. 

Sikap pengecut yang ditunjukkan oleh APH—baik dalam bentuk penundaan penindakan, dugaan kolusi dengan pelaku, maupun minimnya transparansi—hanya memperburuk kondisi.

Dalam konteks ini, APH seolah-olah mengkhianati nilai-nilai perjuangan yang diwariskan oleh para pahlawan Gorontalo. Mereka yang seharusnya menjadi penjaga hukum dan keadilan justru membiarkan pelanggaran hukum terjadi di depan mata, tanpa rasa malu atau tanggung jawab.

Pembiaran terhadap PETI di Popayato memiliki dampak jangka panjang yang serius. Hutan yang rusak, sungai yang tercemar, dan tanah yang tidak lagi subur menjadi warisan buruk bagi generasi mendatang.

Ketegangan antara masyarakat yang menolak PETI dan pelaku yang dilindungi oleh kekuatan tertentu semakin meruncing.

Ketidakmampuan APH untuk menindak PETI menciptakan persepsi bahwa hukum hanya berlaku bagi masyarakat kecil, sementara pelaku dengan kekuatan modal dan jaringan dapat lolos begitu saja.

Pembiaran ini tidak hanya merugikan masyarakat Popayato, tetapi juga mencoreng nama Gorontalo sebagai daerah yang dikenal dengan semangat perjuangannya. 

Hari Patriotik yang Tidak Bermakna Dan Hilangnya Pilar “Stabilitas Hukum” 

Polri sebagai lembaga penegak hukum dan juga pilar penting dalam menjaga stabilitas hukum dan keamanan di daerah. memiliki tanggung jawab untuk menegakkan keadilan, termasuk menghentikan praktik-praktik ilegal seperti PETI. 

Namun, lemahnya tindakan terhadap aktivitas ini menimbulkan kecurigaan adanya pembiaran atau bahkan keterlibatan oknum tertentu. Situasi ini mencederai semangat patriotisme yang semestinya dijunjung tinggi di hari bersejarah ini.

Keberadaan PETI di wilayah Popayato, yang terus berlangsung tanpa pengawasan dan penindakan tegas, menjadi sorotan utama. 

Masyarakat melaporkan aktivitas ilegal ini, termasuk dugaan penggunaan alat berat dan kehadiran warga negara asing (WNA) di lokasi, namun tanggapan dari aparat keamanan terkesan lamban dan tidak tegas. 

Pembiaran ini memperkuat persepsi bahwa hukum dapat dinegosiasikan, terutama jika menyangkut pihak-pihak yang memiliki kepentingan besar.

Bagi masyarakat Popayato, Hari Patriotik 23 Januari 1942-2025 mungkin hanya menjadi peringatan kosong tanpa makna. Ketika simbol perjuangan diperingati di tingkat provinsi dengan penuh kemeriahan, masyarakat Popayato justru merasa ditinggalkan. 

Mereka tidak merasakan keberpihakan atau perlindungan dari pemerintah maupun penegak hukum.

Kondisi ini semakin mempertegas ironi bahwa perjuangan untuk kebebasan dan keadilan yang pernah menjadi semangat rakyat Gorontalo kini terabaikan di salah satu wilayahnya sendiri.

Jika Hari Patriotik benar-benar ingin dijadikan momen refleksi dan perbaikan, maka penindakan tegas terhadap PETI di Popayato harus menjadi prioritas. 

Hari Patriotik 23 Januari seharusnya tidak hanya menjadi seremonial yang penuh pidato dan ritual, tetapi juga menjadi momen nyata untuk memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan rakyat Gorontalo. 

Jika APH terus bersikap pengecut dan membiarkan PETI di Popayato, maka peringatan ini tidak lebih dari simbol kosong tanpa makna.

Perjuangan rakyat Gorontalo pada tahun 1942 tidaklah mudah, dan sudah seharusnya semangat itu dihidupkan kembali oleh mereka yang saat ini diberi amanah untuk menegakkan hukum dan melindungi masyarakat. 

Popayato, seperti wilayah lainnya di Gorontalo, juga layak mendapatkan keadilan dan perlindungan. Jangan sampai nilai-nilai perjuangan leluhur kita menjadi sia-sia karena ketidakberanian dan pembiaran.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Akses berita Faktanews.com dengan cepat di WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029Vae1Mtp5q08VoGyN1a2S. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.Example 300x300
Example 120x600
Example 300x300