Oleh : Johan Chornelis Rumampuk | Ketua DPD PJS Provinsi Gorontalo
Masalah air bersih adalah isu krusial yang menyentuh aspek fundamental kehidupan masyarakat. Namun, di Kabupaten Pohuwato, terutama yang kaya akan sumber daya alam, aktivitas Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI) sering kali menjadi ancaman serius bagi kualitas dan ketersediaan air bersih.
Pertanyaannya adalah: apakah air bersih direnggut oleh PETI, atau oleh Aparat Penegak Hukum (APH) yang membiarkan aktivitas ilegal ini berlangsung?
Tentu kita akan dipaksa berfikir dan menyimpulkan bahwa jawaban dari pertanyaan tersebut mencakup keduanya. Dimana hancurnya kualitas Air Bersih dikarenakan maraknya Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) khususnya wilayah Sumber Mata Air (Embung) dan ditambah lagi dengan tidak adanya kepastian hukum yang diberikan oleh APH kepada para pelanggar
Aktivitas PETI biasanya dilakukan tanpa memperhatikan dampak lingkungan. Penggunaan bahan kimia berbahaya seperti merkuri dan sianida untuk ekstraksi emas mencemari sumber air, mengakibatkan air yang seharusnya bersih menjadi tercemar dan berbahaya bagi kesehatan manusia dan ekosistem.
Penambangan ilegal sering merusak struktur tanah dan mengganggu aliran air alami. Ini menyebabkan sedimentasi berlebihan di sungai dan danau, mengurangi kualitas air dan mengancam habitat air tawar.
Salah satu alasan utama mengapa PETI terus berlanjut adalah kurangnya penegakan hukum yang efektif oleh APH. Ketidakseriusan dalam menangani kasus PETI, baik karena korupsi atau ketidakmampuan, memungkinkan aktivitas ilegal ini berlangsung tanpa hambatan.
Dalam beberapa kasus, oknum di APH mungkin terlibat dalam korupsi dan kolusi dengan pelaku PETI. Setoran uang atau keuntungan lainnya bisa menjadi alasan mengapa tindakan terhadap PETI sering kali tidak diambil atau bahkan diabaikan.
Air yang tercemar akibat aktivitas PETI membawa dampak langsung pada kesehatan masyarakat. Penyakit kulit, gangguan pencernaan, dan penyakit serius lainnya bisa timbul akibat konsumsi air yang terkontaminasi bahan kimia berbahaya.
Ketersediaan air bersih adalah kebutuhan dasar. Ketika sumber air bersih terkontaminasi, masyarakat harus mencari sumber air alternatif yang mungkin lebih jauh dan tidak selalu tersedia, mengganggu kehidupan sehari-hari dan meningkatkan beban hidup.
APH harus memperkuat komitmen mereka terhadap penegakan hukum yang tegas dan tanpa pandang bulu. Aktivitas PETI harus dihentikan melalui operasi-operasi penertiban yang konsisten dan berkelanjutan.
Air bersih yang direnggut oleh aktivitas PETI adalah ancaman nyata yang berdampak langsung pada kesehatan dan kehidupan sehari-hari masyarakat. Namun, ini bukan hanya kesalahan pelaku PETI, tetapi juga APH yang gagal menegakkan hukum secara efektif.
Kegagalan dalam penegakan hukum sering kali disebabkan oleh korupsi dan kolusi, yang semakin memperparah situasi.
Penegakan hukum yang tegas, pengawasan yang ketat, serta pendidikan dan kesadaran masyarakat adalah langkah-langkah penting yang harus diambil untuk mengatasi masalah ini. Dan perlu untuk memastikan bahwa sumber daya air yang vital terlindungi dari aktivitas ilegal yang merugikan.
Hanya dengan pendekatan yang holistik dan berkomitmen, air bersih dapat kembali menjadi hak dasar yang terlindungi bagi semua orang. Semoga
Penulis pernah membuat sebuah ulasan dengan tema “Ketika Hukum Menjadi Penyebab Lahirnya Para Penjahat Baru”
Melihat persoalan hari ini, keinginan serta harapan terbesar setiap orang atau masyarakat adalah terciptanya rasa keamanan dan kenyaman serta adanya keadilan sosial bagi seluruh masyarakat yang ada di Bumi Panua.
Di negara dan Daerah manapun, hukum dibuat, ditetapkan dan diberlakukan untuk ditegakkan, ditaati dan dipatuhi secara bersama dalam rangka mewujudkan tatanan masyarakat yang tertib dan beradab.
Namun sayangnya, meski terdapat koridor hukum yang berlaku dan mengatur semua aspek kehidupan berbangsa, bermasyarakat dan bernegara, namun ada-ada saja pelanggaran demi pelanggaran hukum sehingga melahirkan “Para Penjahat Baru”
Dalam kaidah hukum yang berlaku, seseorang yang terjaring melanggar hukum disebut sebagai “tersangka” kemudian menjadi terdakwa dan jika terbukti secara sah dan meyakinkan ia menjadi terpidana yang mendekam di sel tahanan yang saat ini istilah itu diperhalus menjadi “Lembaga Pemasyarakatan.
Secara umum, karena hukum disebut juga sebagai norma, maka apapun jenis pelanggaran yang dilakukan, orang itu tetaplah disebut sebagai “Penjahat”
Vollmer dalam salah satu makalahnya menyebutkan, para penjahat yang melanggar hukum dikategorikan sebagai orang yang dilahirkan “tolol” karena dipandang sulit mengendalikan dirinya hingga merugikan orang lain.
Bahkan dalam perspektif mereka yang Istiqomah berada di jalur yang benar, kejahatan tidak mengenal istilah “berat” atau “ringan”. Artinya sekecil apapun kejahatan yang dilakukan oleh seseorang dia tetap masuk kategori sebagai “penjahat”.
Jika hukum dimaknai juga sebagai norma, maka menjadi sebuah “ironi”, jika kejahatan atau pelaku kejahatan justru semakin tumbuh subur.
Menjadi sebuah ironi, karena di sebuah Daerah, paling tidak terdapat beberapa sumber norma yang berlaku di masyarakat, yakni hukum tertulis, berupa norma agama dan norma hukum negara. Ada juga hukum yang tidak tertulis yang berlaku dalam kelompok masyarakat tertentu yang dikenal sebagai hukum adat.
Sama halnya dengan beberapa Daerah yang ada di Provinsi Gorontalo, Daerah yang konon katanya adalah sebuah rontokan Syurga dengan berbagai kekayaan alam didalamnya.
Yang mereka hadapi saat ini tentang adanya 1 ancaman yang nyata dan berpotensi kuat sebagai penyebab Daerah itu hancur. Yakni Penegakan Hukum Sering “Berputar-Putar”
Hingga hampir seluruh masyarakatnya sudah Terjebak Dengan Sebuah Disorientasi Penegakan Hukum. Dan jika Penegakan Hukum Sering ”Berputar-Putar”, maka yang akan lahir adalah sebuah sikap “Distres” Atau hilangnya kepercayaan akan Hukum di Bumi Panua ini.
Dari penegakan hukum atas pertambangan emas tanpa izin (PETI) di Kabupaten Pohuwato yang hingga saat ini ditegakkan hanya pada operator alat berat, tidak diprosesnya penangkapan 2 Alat berat dan 15 Galon Solar yang dilakukan oleh Kapolsek Paguat kala itu dan program monitoring hingga ditemukan 13 Alat Berat yang hanya didata tanpa adanya proses hukum.
Maraknya pertambangan wilayah Dengilo, Desa Balayo, Tambang Taluditi, Popayato hingga perbatasan Molosifat. Anehnya, semua terlepas dari mata telinga Aparat Penegak Hukum.
Suatu saat akan ada sebuah “Disobidience” atau sikap pembangkangan hingga terjadi “Disintegrasi”. Sebab, persoalan kita saat ini sebagai masyarakat lokal yakni adanya beberapa kesepakatan – kesepakatan dan hukum – hukum yang menyandera kita semua.
Hal itu disebabkan oleh kejahatan jabatan dimasa Lalu. Ditambah lagi dengan moralitas yang bobrok, sehingga persoalan kandungan bumi yang ada di Bumi Panua tersebut tidak pernah selesai.
Sehingga banyak orang berpendapat bahwa disetiap Periode Baru, akan bermunculan “Para Penjahat-Pejahat” Baru yang dikarenakan adanya warisan moral-moral Yang Bobrok itu.
Ketiga pilar hukum itu ternyata dalam manifestasinya, tidak mampu membendung lahirnya barisan penjahat yang mendekonstruksi bangunan nilai-nilai kemanusiaan yang dianugerahi akal.
Akal yang sejatinya menjadi “pemimpin” seakan dikalahkan oleh dorongan “nafsu” sehingga derajat kemanusiaan terbelenggu oleh sifat dan naluri “hewani”.
Jika demikian adanya, maka benar apa kata Marvel, bahwa penjahat adalah orang yang terlahir “tolol” karena salah kaprah dalam memaknai dan menghadirkan esensi kesejatiannya sebagai manusia.
Apalagi jika berbicara tentang hukum negara. Begitu banyak pasal dan ketentuan hukum yang mengatur berbagai aspek kehidupan sosial kemasyarakatan, namun semua produk hukum itu, seakan hanya tegak di atas kertas, rapuh dalam realitas bahkan bisa dikendalikan oleh “selembaran kertas”
Bahkan, di negeri “antah berantah” bernama Indonesia, terdapat fenomena yang sungguh “membangonkan” bukan lagi membingungkan, yakni istilah “pagar makan tanaman” atau “tanaman menjaga dan mengatur pagar”.
Mirisnya lagi, ketika norma hukum atau ketentuan hukum dilanggar, bukan penegakkan hukum yang diseriusi, malah aturan hukum itu yang dipersoalkan, diperdebatkan, malah direvisi, diamandemen dan diadaptasikan dengan kepentingan “orang penting”
Dalam konteks ini, hukum tidak penting ditegakkan, tapi yang penting adalah mengamankan “orang penting”.
Disinilah para penjahat kelas kakap itu bukan saja merasa jahat, tapi justru berasa berada di atas awang-awang, seakan tampil menjadi “begawan” yang sok berwibawa.
Sebaliknya, ketika penjahat “maling ayam”, maka sekonyong-konyong hukum menjadi tajam, setajam silet. Bahkan lebih dari itu, si maling ayam dan penjahat kelas teri terkadang harus rela menjadi “tumbal” untuk sebuah pencitraan, mencari muka di hadapan rakyat, bahwa penegakkan hukum sedang baik-baik saja. Sebuah fenomena penegakkan hukum yang rapi, namun rapuh yang sungguh tiada ampun.