Faktanews.com, Gorontalo – Keputusan Gubernur Gorontalo, Gusnar Ismail, untuk mengangkat enam staf khusus dan tiga anggota tim komunikasi memicu kontroversi besar. Langkah tersebut dianggap melanggar Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 yang menekankan efisiensi anggaran dan penghematan di tengah kondisi ekonomi yang semakin sulit. Kebijakan ini kini dikecam banyak pihak, dengan sejumlah kritik yang mengarah pada dugaan penyalahgunaan kekuasaan, Jumat (21/3/2025).
Abdul Wahidin Tutuna, seorang aktivis Gorontalo tidak tinggal diam. Ia mengecam keputusan gubernur yang dinilai akan menambah beban anggaran daerah yang sudah terbebani. Dalam sebuah pernyataan tegas, Wahidin mengatakan bahwa pengangkatan staf khusus dan tim komunikasi ini justru bertentangan dengan upaya penghematan yang seharusnya dilakukan pemerintah.
“Ini jelas menunjukkan ketidakpatuhan terhadap semangat efisiensi yang digariskan oleh Instruksi Presiden. Dalam situasi sulit seperti ini, setiap rupiah anggaran harus digunakan dengan bijak, bukan malah menambah beban yang tidak perlu,” ujar Wahidin.
Lebih lanjut, Wahidin menyatakan bahwa ia akan melaporkan kebijakan ini ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kepolisian Republik Indonesia (POLRI). Ia mencurigai adanya permainan politik di balik pengangkatan tersebut, dengan potensi memperkaya pihak-pihak tertentu yang memiliki kedekatan dengan gubernur. Wahidin bahkan menyebut adanya “indikasi kong kali kong,” yang mengarah pada dugaan adanya praktik yang tidak sehat dalam pengelolaan anggaran daerah.
“Kami akan melaporkan hal ini ke KPK dan POLRI. Gubernur Gorontalo dengan kebijakannya telah memperkaya orang-orang tertentu melalui jabatan dan anggaran yang dikeluarkan. Ini sudah jelas mencurigakan,” tambahnya.
Selain kritik soal anggaran, Wahidin juga mempertanyakan urgensi pembentukan tim komunikasi yang terpisah dari Dinas Komunikasi dan Informatika (Kominfo). Menurutnya, tugas-tugas komunikasi publik sudah seharusnya menjadi bagian dari tugas Dinas Kominfo, yang sudah memiliki sumber daya yang cukup untuk melaksanakannya.
“Apakah perlu tim komunikasi terpisah? Bukankah Dinas Kominfo sudah memiliki fungsi dan sumber daya untuk mengurusi hal ini? Ini justru akan menambah pemborosan anggaran dan tumpang tindih fungsi,” tegas Wahidin.
Lebih parah lagi, Wahidin juga menyoroti potensi politisasi jabatan staf khusus yang langsung ditunjuk oleh gubernur. Ia khawatir jabatan-jabatan tersebut akan diisi oleh orang-orang yang lebih mengutamakan kedekatan politik daripada kompetensi dan profesionalisme. Menurut Wahidin, ini adalah langkah yang sangat berbahaya dan bisa merusak tata kelola pemerintahan yang bersih.
“Kita semua tahu bahwa jabatan-jabatan ini bisa saja diisi oleh orang-orang yang dekat dengan politik gubernur, bukan berdasarkan kapasitas dan kemampuan yang sebenarnya. Ini bisa menjadi celah besar untuk praktik nepotisme,” ungkap Wahidin.
Masyarakat pun kini mempertanyakan apakah kebijakan Gubernur Gusnar Ismail ini benar-benar untuk kepentingan daerah atau justru untuk kepentingan pribadi dan kelompok tertentu. Sementara itu, desakan agar pemerintah segera mengevaluasi kebijakan ini semakin menguat, dengan harapan agar anggaran daerah dapat digunakan secara lebih efisien dan transparan.
Tensi politik di Gorontalo semakin tinggi, dan kontroversi ini dipastikan akan terus bergulir, menambah sorotan tajam terhadap kinerja Gubernur Gusnar Ismail dalam pengelolaan pemerintahan daerah.