Oleh : Jhojo Rumampuk || Ketua DPD PJS Gorontalo
Insiden yang dialami Herman Abdulah alias Popay, wartawan Jasmer7, di Desa Padengo, Kabupaten Gorontalo, menunjukkan wajah buram relasi antara kepolisian dan pers di daerah ini.
Upaya menghalangi, intimidasi, hingga perampasan alat kerja berupa handphone oleh oknum Kanit Direktorat Narkoba Polda Gorontalo adalah tindakan yang tidak hanya mencederai prinsip demokrasi, tetapi juga melanggar hukum secara nyata.
Pasal 18 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers secara tegas menyatakan bahwa setiap pihak yang dengan sengaja menghambat atau menghalangi kerja jurnalistik dapat dipidana dengan hukuman penjara paling lama dua tahun atau denda paling banyak Rp500 juta.
Tindakan oknum tersebut jelas memenuhi unsur pelanggaran pidana, dan jika dibiarkan, hanya akan menambah panjang daftar kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia.

Ketidakpahaman atau Kesengajaan ?
Kekerasan terhadap wartawan bukan sekadar persoalan individu, melainkan menunjukkan pola relasi yang timpang antara institusi kepolisian dan pers. Tindakan oknum Kanit tersebut menimbulkan pertanyaan:
apakah ini akibat ketidakpahaman aparat terhadap aturan tentang kebebasan pers, ataukah memang disengaja untuk menghambat transparansi penegakan hukum?
Kedua kemungkinan ini sama-sama mencemaskan.
Polisi, sebagai penegak hukum, semestinya menjadi pihak yang paling memahami pentingnya keberadaan pers dalam mengawasi dan memberikan informasi kepada masyarakat.
Namun, insiden ini justru menunjukkan sebaliknya. Alih-alih menjadi mitra transparansi, tindakan oknum polisi menggambarkan resistensi terhadap kontrol publik, seolah penegakan hukum harus berjalan dalam ruang tertutup.
Kekerasan terhadap wartawan tidak hanya melukai individu yang menjadi korban, tetapi juga menjadi ancaman serius bagi kebebasan pers dan hak masyarakat untuk mendapatkan informasi.
Pers adalah pilar keempat demokrasi, yang berfungsi mengawasi kekuasaan dan memastikan transparansi. Ketika aparat penegak hukum justru menjadi aktor yang menghalangi kerja jurnalistik, maka fungsi ini menjadi lumpuh.
Kasus di Gorontalo ini bukan hanya pelanggaran hukum, tetapi juga mencerminkan resistensi aparat terhadap pengawasan publik.
Penegakan hukum yang dilakukan di bawah bayang-bayang intimidasi dan kekerasan terhadap jurnalis menunjukkan bahwa aparat belum siap bekerja secara transparan.
Hal ini menggerogoti kepercayaan masyarakat terhadap institusi kepolisian yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam menegakkan keadilan.
Salah satu akar persoalan ini adalah minimnya pemahaman aparat terhadap hak-hak pers dan pentingnya kebebasan jurnalistik. Insiden ini menunjukkan perlunya pendidikan hukum bagi anggota kepolisian tentang peran dan hak pers.
Polisi harus memahami bahwa wartawan yang meliput peristiwa publik, termasuk penangkapan, bukanlah musuh yang harus dihalangi, melainkan mitra yang membantu memastikan akuntabilitas penegakan hukum.
Kasus ini harus menjadi momentum bagi Polda Gorontalo untuk introspeksi. Kapolda Gorontalo harus segera mengambil langkah tegas terhadap oknum yang terlibat.
Sanksi disiplin maupun pidana harus diberikan sebagai bentuk penegakan hukum yang adil dan untuk mengirim pesan bahwa kekerasan terhadap wartawan tidak dapat ditoleransi.
Lebih dari itu, institusi kepolisian perlu melakukan reformasi internal untuk memperbaiki hubungan dengan pers. Pelatihan khusus tentang hak-hak pers dan pentingnya transparansi harus menjadi bagian dari program wajib bagi setiap anggota kepolisian.
Kebebasan Pers adalah Hak Masyarakat
Perlakuan terhadap Herman Abdulah tidak hanya melukai dirinya sebagai jurnalis, tetapi juga melanggar hak masyarakat Gorontalo untuk mendapatkan informasi yang jujur dan transparan.
Kebebasan pers bukan hanya milik wartawan, tetapi juga hak kolektif masyarakat. Oleh karena itu, melawan kekerasan terhadap jurnalis adalah perjuangan untuk mempertahankan demokrasi itu sendiri.
Gorontalo membutuhkan langkah konkret untuk memastikan kebebasan pers terlindungi, baik melalui penegakan hukum terhadap pelanggar maupun edukasi kepada aparat.
Jika tidak, kekerasan terhadap jurnalis hanya akan menjadi preseden buruk yang terus berulang, merusak kepercayaan publik dan menodai prinsip keadilan yang seharusnya dijaga oleh aparat penegak hukum.