Penulis: Fadli Thalib
Faktanews.com, Tajuk – Kisruh antara Bank SulutGo (BSG) dan para kepala daerah di Provinsi Gorontalo pasca Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) akhirnya mulai menunjukkan tanda-tanda mereda.
Kunjungan Direktur Utama BSG ke Gorontalo baru-baru ini seolah menjadi sinyal bahwa polemik berkepanjangan terkait keterwakilan Gorontalo dalam jajaran direksi dan komisaris BSG telah menemukan jalan damai.
Namun, di balik kesan adem pasca pertemuan tersebut, muncul pertanyaan-pertanyaan tajam dari publik, benarkah ini murni rekonsiliasi demi kemajuan bank daerah? Ataukah sekadar manuver politik terselubung yang sarat kepentingan elite?
Tidak bisa dimungkiri, ketidakpuasan para kepala daerah di Gorontalo terhadap hasil RUPS BSG cukup beralasan. Tidak adanya keterwakilan dari provinsi ini dalam jajaran penting direksi dan komisaris dianggap mencederai prinsip keadilan dan proporsionalitas, apalagi jika melihat kontribusi saham daerah Gorontalo yang cukup signifikan. Wacana pemindahan saham ke bank-bank milik negara pun sontak muncul sebagai bentuk tekanan yang nyata.
Beberapa langkah bahkan sudah lebih dari sekadar wacana. Kabupaten Boalemo, misalnya, telah menandatangani MoU dengan Bank BRI. Kabupaten/Kota lainnya juga secara terbuka menyatakan niat untuk mengalihkan saham mereka ke Bank Mandiri. Sinyal ini menunjukkan bahwa ketidakpuasan tersebut benar-benar serius, bukan gertakan semata.
Namun semuanya seakan berubah arah setelah pertemuan antara Direktur Utama BSG dan Wali Kota Gorontalo. Rekonsiliasi yang terjadi bahkan menghasilkan dua nama yang bakal diusulkan untuk mengisi posisi strategis di direksi dan komisaris BSG mewakili Gorontalo. Hal ini menimbulkan spekulasi liar: apakah ancaman dan desakan sebelumnya hanya alat tawar-menawar demi mendapatkan “kursi” dalam struktur manajemen BSG?
Di sinilah muncul satu ironi besar, bank-bank milik negara bisa disimpulkan hanya dijadikan alat tekanan, bukan benar-benar alternatif. Mereka seolah diberikan harapan oleh para kepala daerah, seakan-akan akan dijadikan mitra strategis. Namun ketika “kursi” bagi perwakilan Gorontalo di BSG berhasil diamankan, semua wacana itu bisa saja dilupakan.
Ini bukan hanya soal tarik-ulur kepentingan, tapi juga mempermainkan kepercayaan institusi lain yang sebenarnya siap mendukung pembangunan di daerah.
Lebih dari itu, publik juga pastinya bertanya-tanya, apakah rekonsiliasi ini lahir dari niat tulus memperjuangkan hak dan kepentingan daerah, atau justru hasil dari lobi-lobi politik yang sarat aroma “bagi-bagi kue”?
Sebab, ketika proses penentuan direksi dan komisaris sebuah bank daerah mulai dicurigai melibatkan manuver politik, maka kepercayaan publik bisa tergerus. Ini bukan sekadar soal siapa yang duduk di kursi kekuasaan, tapi bagaimana transparansi dan profesionalisme dijaga yang sejatinya untuk kepentingan daerah dan rakyat.
Kini, bola panas ada di tangan para pengambil kebijakan. Apakah rekonsiliasi ini benar-benar solusi yang berpihak pada kepentingan daerah? Ataukah hanya episode lain dalam sandiwara politik para elit Gorontalo?
Hanya waktu yang bisa menjawab. Namun satu hal pasti: rakyat selalu mencatat.