Oleh : Abdul Basid A. Tuda
Faktanews.com – Opini. Disuatu daerah, Para Aktivis yang yang selalu menjadi garda terdepan dalam memperjuangkan kelestarian lingkungan kini menghadapi tantangan yang besar.
Bagaimana tidak, kerusakan lingkungan akibat tambang ilegal menjadi salah satu isu krusial. Namun nampaknya, hal tersebut semakin hari semakin kehilangan sorotan yang seharusnya didapatkan. Aktivitas penambangan yang dilakukan tanpa izin ini telah merusak ekosistem, mencemari air, dan merusak tanah secara permanen.
Dampaknya begitu besar, baik terhadap alam maupun masyarakat di sekitar lokasi tambang, namun suara keras menentang praktik ini seolah semakin menghilang, terutama dari kalangan aktivis dan pihak yang seharusnya menjadi pengawal utama dalam perjuangan lingkungan hidup.
Banyak aktivis yang terkenal dengan suaranya yang lantang dalam memperjuangkan hal-hal yang merugikan rakyat. Dulu, Ketika memberikan kritik, mereka dikenal bagaikan Singa yang meronta-ronta yang siap menerka mangsa. Tetapi, kini tampak terdiam bak seperti singa yang kehilangan kedua taringnya.
Fenomena ini semakin terlihat jelas, di mana para aktivis tak lagi berani mengkritik atau bahkan memilih bungkam karena alasan kepentingan pribadi atau kelompok. Alih-alih mempertahankan posisi independen sebagai pengkritik utama, kini mereka malah lebih sering menjadi bagian dari sistem yang mereka dulu perjuangkan untuk diubah.
Kepentingan pribadi yang lebih besar—baik dalam bentuk kekuasaan, uang, atau koneksi membuat mereka memilih untuk menekan kritik yang seharusnya menjadi tugas mereka sebagai aktivis.
Selain itu, fenomena “aktivisme selektif” semakin memperburuk keadaan. Beberapa aktivis kini hanya memilih untuk memperjuangkan isu-isu yang sesuai dengan kepentingan kelompok atau jaringan mereka sendiri. Isu-isu lain yang lebih rumit atau bertentangan dengan kepentingan pribadi mereka jarang mendapat perhatian.
Ketika masalah yang dihadapi tidak lagi sejalan dengan pandangan mereka, atau mengancam posisi mereka, suara mereka tiba-tiba menghilang. Ini menunjukkan bahwa banyak dari mereka tidak lagi berjuang demi perubahan yang lebih adil, melainkan untuk menjaga eksistensi diri mereka dalam sistem yang sudah ada.
Mereka yang seharusnya menjadi jembatan antara rakyat dan penguasa justru memilih untuk tidak berbicara. Bahkan parahnya, mereka terindikasi terlibat dan main mata dengan para mafia tambang tersebut demi meraup keuntungan dari kegiatan ilegal tersebut.
Tentunya, Hal ini mencoreng nama baik Aktivis yang selama ini dikenal oleh masyarakat sebagai Agen Of Control dan Agen Of Change. Aktivis yang tak lagi kritis bukan hanya kehilangan peranannya sebagai pengawas kekuasaan, tetapi juga mengkhianati cita-cita perubahan yang seharusnya menjadi prinsip mereka.
Para Aktivis yang seharusnya berfungsi sebagai pendorong perubahan sosial kini malah menjadi bagian dari para mafia. Ketika para aktivis bungkam karena kepentingan, maka suara rakyat yang selama ini diwakili oleh mereka menjadi hilang, dan keadilan pun semakin sulit dicapai.
Saatnya bagi Para aktivis untuk mengingat kembali esensi dari perjuangan mereka. Aktivis bukanlah orang yang selalu mencari posisi atau keuntungan pribadi, melainkan untuk memperjuangkan kebenaran, dan keadilan.
Untuk itu, mereka harus kembali menyuarakan apa yang seharusnya menjadi tugas mereka. Bukan malah ikut terjerumus menjadi para “Bangsat Daerah” seperti yang lainnya.
Karena, Dunia membutuhkan aktivis yang mampu bertindak tanpa rasa takut, tanpa memikirkan kepentingan pribadi atau kelompok, demi kelestarian lingkungan dan juga kesejahteraan masyarakat.