Oleh : Man Muhammad (Profesional)
Faktanews.com (Opini) – Baru-baru ini sempat viral sebuah diskusi yang berujung perdebatan panjang antara pemerintah daerah yang diwakili oleh Wakil Bupati Boalemo dan Aliansi Perjuangan Rakyat (APR) yang dimotori oleh NS, RS, FS, NES dan NP.
Perdebatan sengit yang terjadi di Kantor Bupati Kabupaten Boalemo pada hari Jumat, 6 September 2019, dikarenakan tidak adanya titik temu pendapat terhadap polemik Pantai Ratu yang diduga bermasalah oleh APR. Namun, dalam hal ini penulis tidak ingin mengomentari Pantai Ratu dengan beragam polemik di dalamnya yang menjadi awal mula perdebatan, karena memang merasa tidak memiliki kapasitas dan kompetensi dalam hal itu.

Biarlah masalah Pantai Ratu menjadi urusan pemerintah daerah khususnya Kabupaten Boalemo yang dalam hal ini sudah diserahkan kepada Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (ForKoPimDa), dan APR yang melakukan protes keras terhadap keberadaan Pantai Ratu yang dinilai bermasalah secara legalitas hukum. Kami sebagai rakyat hanya bisa berdoa dan berharap, semoga bisa diselesaikan dengan segera.
Adapun dalam tulisan ini, karena ketergelitikan penulis untuk mengomentari perdebatan yang terjadi di dalamnya. Dan menjadi menarik untuk diulas, sebab munculnya beragam komentar atas kejadian tersebut. Di mana perdebatan sengit yang cukup menguras emosi dari kedua belah pihak, menjadi sesuatu yang renyah untuk ‘ditertawakan,’ juga di sisi lain sebagai bentuk pembelajaran.
“Kullukum Rãin wa Kullukum Masũlun ‘an Raiyyatihi” (Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas yang dipimpinnya).
Jika berdasarkan hadis ini dalam membaca realitas sosial masyarakat,berarti secara terminologi bahasa, kata Rãin-Raiyyatihi bukan hanya berbicara tentang tanggung jawab kita terhadap kedirian, melainkan mencakup tanggung jawab lebih besar terhadap suatu sistem yang terbangun di mana di dalamnya ada seorang pemimpin dan ada orang yang dipimpinnya. Dengan demikian, ‘Rãin’ adalah seorang pemimpin, sedangkan‘rakyat’ yang diadopsi dari kata Raiyyatihi berarti ‘yang dipimpin.’ Karena kata Raiyyatihi berasal dari kata Rãin, bisa disimpulkan bahwa; rakyat adalah pemimpin, dan pemimpin bagian dari rakyat.
Dalam peradaban tradisi dan adat budaya Gorontalo, seorang pemimpin disebut Olongia. Tugas seorang Olongia tidak lepas dari tanggung jawabnya atas segala hal yang berkaitan dengan apa yang dipimpinnya. Baik itu kemajuan dan kemakmuran daerah, juga terhadap kedamaian dan keamanan entitas masyarakatnya. Dan para Olongia dalam setiap kegiatan adat dipanggil dengan sebutan Eyanggu, yang berasal dari kata Eya dalam bahasa Gorontalo yang berarti Tuhan. Maksud pemanggilang Eya kepada para Olongia dalam setiap acara adat, adalah bentuk keistikamahan dewan adat untuk memperingatkan kepada para pemimpin tentang keharusan memiliki sifat-sifat Tuhan yang paling dasar, Motoliango. Yang pengasih lagi penyayang.
Di zaman modern yang semakin berkembang ini, sebutan Olongia kemudian diganti namanya menjadi Gubernur atau Bupati –untuk bagian wilayah. Penting untuk dicatat, pergantian nama dari Olongia menjadi Gubernur atau Bupati, bukan berarti substansi nilai-nilai adat yang harus terdapat dalam diri setiap pemimpin ikut tergantikan. Apalagi dalam hal-hal yang berkaitan dengan adabu waw adati to rakyati. Karena tidak bisa dipungkiri bahwa Gorontalo (Boalemo termasuk bagian dari Gorontalo) terbentuk atas nilai adat yang sudah mendarah daging dalam kehidupan bermasyarakat. Dan dengan itu pula sampai detik ini Gorontalo termasuk Daerah yang masih melestarikan adatnya.
Jika diselisik lebih jauh dalam perspektif sejarah kebudayaan Islam, perdebatan sengit yang terjadi di kantor Bupati Kabupaten Boalemo, serupa tapi tidak sama dengan perdebatan dan perbantahan yang pernah terjadi pada masa Nabi, masa sahabat, dan masa dinasti-dinasti Islam. Mari kita lihat sejarah perdebatan dan perbantahan yang terjadi dalam sejarah Islam;
Kisah pertama,
Setelah perang Badar usai, ada sekitar tujuh puluh orang kaum Qurays Makkah yang menjadi tawanan kaum muslimin, di antaranya ada beberapa dedengkot-dedengkot Qurays. Sesuai tradisi yang berlaku saat itu, para tawanan ini bisa dilepaskan jika membayar uang tebusan. Rasulullah Saw menyepakati saran Abu Bakar Shiddiq untuk para tawanan ini dimintai uang tebusan atau, mengajarkan kaum muslimin yang belum bisa baca tulis sampai bisa melakukan itu, lalu mereka dibebaskan tanpa uang tebusan. Berbeda dengar Umar bin Khattab, dia tidak sependapat bahkan membantah dan mempertanyakan kesepakatan yang dilakukan oleh Rasulullah dan Abu Bakar. Umar berpendapat, agar menghukum mati para tawanan ini karena di antara para tawanan adalah petinggi-petinggi Qurays Makkah. Dikhawatirkan, kalau mereka tetap dibiarkan hidup, akan merencanakan dan membangun kekuatan baru yang dikemudian hari menyerang umat Islam. Pendapat Umar tertolak, dengan wajah merah menahan marah, dia berbalik dan meninggalkan Rasulullah dan Abu Bakar.
Setelah para tawanan itu dibebaskan dengan syarat-syarat yang disepakati oleh Rasulullah, baru turunlah ayat ke 67 surat al Anfal yang membenarkan pendapat Umar.
Kisah kedua,
Di akhir tahun ke enam hijriah, Rasulullah Saw bersama sebagian besar kaum muslimin bertolak dari Madinah menuju Makkah untuk melakukan umrah. Rencana kedatangan Rasulullah ini diketahui oleh kaum Qurays yang berada di Makkah. Akhirnya,beragam cara mereka lakukan untuk mencegah kedatangan Rasulullah. Karena polemik yang terjadi sudah tidak bisa dielakkan lagi, dan Rasulullah tidak ingin adanya pertumpahan darah, diutuslah Utsman bin Affan untuk melakukan negosiasi dengan petinggi Qurays di Makkah. Tapi, selang beberapa hari Utsman tak kunjung kembali dan tersiar kabar bahwa Utsman telah mati terbunuh. Mendengar hal tersebut, kaum muslimin bertekad tidak akan meninggalkan tempat itu sebelum memerangi Qurays dan membalas kematian Utsman bin Affan. Belakangan baru diketahui, berita tersebut hoax karena tidak lama kemudian Utsman kembali dan berkumpul bersama Rasulullah dan kaum muslimin. Petinggi kaum Qurays Makkah yang merasa panik karena beredarnya berita tersebut kemudian mengutus Suhail bin Amr (sebelum masuk Islam) sebagai negosiator untuk berunding dengan Rasulullah.
Terjadilah perundingan antaraRasulullah dan Suhaill bin Amr sebagai utusan Makkah. Perundingan yang dikenal dengan Perjanjian Hudaibiyahini cukup lama dansempat memanas karena dengan pongahnya Suhail menolak untuk menyetujui menuliskan Bismillah ar Rahman ar Rahim dalam pembukaan perjanjian mereka.Dia mengatakan “siapa Ar Rahman? Demi Allah, saya tidak tahu. Tulislah Bismika Allahumma.” Rasulullah pun mengalah.
Kemudian, ketika menuliskan perjanjian antara Suhail bin Amr dan Muhammad Rasulullah, Suhail langsung menyela dan berkata, “andai kami yakin engkau adalah utusan Allah, tentu perjanjian ini tidak ada, kami akan mengikuti agama yang kamu bawa dan tidak melarangmu untuk memasuki Makkah, tulislah Muhammad bin Abdullah.” Rasulullah mengalah dan memerintahkan sayyidina Ali yang saat itu menjadi juru tulis Rasulullah untuk mengganti kata ‘rasulullah dengan Abdullah.’ Tapi, dengan mimik marah dan wajah memerah, Ali melakukan protes kepada Rasulullah Saw dengan tidak mengindahkan perintah Rasulullah. Tiga kali Rasulullah memerintahkan, tiga kali pula Ali membantah perintah itu. Akhirnya, Rasulullah sendiri yang membungkuk dan menghapus kata ‘rasulullah’ dalam perjanjian tersebut. Kaum muslimin yang ikut bersama Rasulullah saat itu merasa kecewa dan beranggapan bahwa Rasulullah sudah dihina oleh Suhail bin Amr. Sayyidina Ali dan Umar bin Khattab kemudian berdiri menghunus pedang, ingin menebas kepala Suhail karena kekurangajarannya kepada Rasulullah. Tapi, hal itu tidak terjadi sebab dicegah oleh Rasulullah dan meminta mereka untuk tenang agar perundingan yang merumuskan perjanjian antara mereka dengan kaum Qurays bisa dilanjutkan.
Kisah ketiga,
Umar bin Khattab yang sudah menjadi khalifah pasca kematian Abu Bakar Shiddiq, memberikan khutbah ke pada kaum muslimin. Di antara khutbahnya, Umar menyampaikan, “Jika seandainya ada yang tidak berlaku adil terhadap sesama dalam kehidupan sehari-hari, maka saya akan meluruskannya dengan pedang ini,” kata umar sambil menghunuskan pedangnya. Lalu, tiba-tiba ada seorang badui (orang pedalaman) berseru dengan lantang, “apakah kami bisa meluruskanmu dengan pedang ini, jika engkau yang tidak berlaku adil wahai khalifah?” teriak si badui juga dengan menghunus pedangnya. Saat itu para sahabat-sahabat Rasulullah kaget dan marah kepada orang badui ini. Namun, Umar mencegahnya, kemudian mengucapkan kata syukur, “Alhamdulillah, terima kasih ya Allah masih menghadirkan orang seperti orang itu dalam kepemimpinan Umar. Yang berani bersuara dengan lantang jika Umar melakukan ketidakadilan.”
Di antara tiga kisah di atas, meskipun wajah memerah dan marah, apakah Ali termasuk kategori pembangkang karena menolak perintah Rasulullah untuk menghapus kata ‘Rasulullah’ dalam perjanjian tersebut? Apakah karena berbeda pendapat dengan Rasulullah dan Abu Bakar dan berpaling dengan wajah memerah marah, menjadikan Umar sebagai sahabat penentang Rasulullah? Apakah badui yang bersuara dengan lantang menghunus pedang di hadapan Umar yang lagi berpidato, membuat badui itu termasuk orang yang menghinakan Umar?
Semua protes yang mereka lakukan, sama sekali tidak membuat mereka dikategorikan sebagai orang yang tidak beradab. Malah sebaliknya, protes itu karena mereka memiliki keadaban yang tinggi. Ali tidak melakukan perintah Rasulullah, karena memang dia tahu, bahwa Suhail bin Amr memang sengaja melakukan hal itu untuk menghina Rasulullah. Sedangkan Ali, tidak ingin harga diri Rasululullah diinjak-injak oleh dedengkot kafir Qurays. Umar pun demikian. Berpaling saat berbeda pendapat, karena Umar memahami betul watak dan pikiran para petinggi Qurays yang jadi tawanan itu. Mereka-mereka adalah pengkhianat. Umar khawatir, jika mereka dibebaskan, informasi tentang Islam di Madinah akan bocor ke Makkah dan mereka mengatur siasat untuk menghancurkan Islam. Dan akhirnya, kekhawatiran Umar terjawab saat perang Uhud. Petinggi-petinggi yang dibebaskan itu yang akhirnya menjadi pimpinan pasukan perang yang menyebabkan kekalahan kaum muslimin dan patahnya gigi Rasulullah terkena anak panah yang menembus pipinya. Dan sang badui yang mengingatkan Umar dengan cara menghunus pedang, karena badui itu tahu, Umar adalah sosok yang keras dan tegas, makanya menasehatinya pun harus dengan cara yang tegas.Sedangkan Rasulullah, beliau Saw memperlihatkan sosoknya sebagaimanusia biasa, tapi darinya juga kita belajar bagaimana menjadi seorang pemimpin. Yang bisa mengayomi, yang tidak menyulut emosi. Yang mengedapankan sifat-sifat Tuhan Yang Mahapengasih dan Mahapenyayang.
Pemimpin dan rakyat jika dilihat atas dasar kata Rãin-Raiyyatihi dalam hadis Rasulullah, juga bila dikaitkan dengan adat dan adab dalam budaya Gorontalo, kemudian berkaca dengan tiga kisah di atas tentang bagaimana seyogyanya menjadi seorang pemimpin dan yang dipimpin.
Tentu perdebatan sengit di Kantor Bupati Boalemo yang diwakili oleh Wakil Bupati Boalemo sebagai seorang pemimpin dan kawan-kawan dari APR sebagai perwakilan orang-orang yang dipimpin, tidak akan terjadi. Karena pada akhirnya, perdebatan yang diawali dengan marah-marah seorang pemimpin dalam memberi penjelasan, mencapai puncak klimaks dengan tidak adanya jabatan tangan sebagai bentuk salam penutup dari orang yang dipimpin. Dan akibat yang tercipta, bukannya menemukan solusi, melainkan sebuah gambaran yang memberikan kesan ke publik atas kualitas ‘adab dan adat’ daerah kita yang mulai memudar. Padahal, kedua-duanya adalah rakyat. Bedanya, yang satu dipilih menjadi pemimpin dan yang satunya lagi sebagai yang dipimpin.
Terakhir, mari kita sama-sama menyadari bahwa, rakyat adalah pemimpin dan pemimpin adalah bagian dari rakyat, merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Bagaimana pemimpin seharusnya bersikap kepada rakyat, dan bagaimana sikap rakyat yang juga bagian dari kepemimpinan dalam menyikapi pertemuan demi pertemuan. Dengan menyadari tupoksi-nya masing-masing, dan berlandaskan etika adab dan adat, saya berkeyakinan bahwa rakyat dan pemimpin –yang juga adalah rakyat— akan bisa saling bersinergi dalam membangun tatanan nilai agama, nilai adab, dan nilai adat, untuk daerah tercinta, Lipundo Boalemo. (***)