Scroll untuk baca artikel
Example floating
Example floating
Tajuk

Layangan Putus Versi Gorontalo (Part II), Adat Puulo dan Biito Lo Tombulu

×

Layangan Putus Versi Gorontalo (Part II), Adat Puulo dan Biito Lo Tombulu

Sebarkan artikel ini

Faktanews.com Tajuk. Dalam perspektif masyarakat Gorontalo, pemimpin atau penguasa (Tombulu) atau mereka yang “Ta Tombula”o bukan hanya sekadar diberi amanah mopouda’a atau memperhatikan rakyatnya dan membangun negeri, tapi lebih dari itu, pemimpin adalah teladan, yakni segala tindak tanduknya mencerminkan nilai-nilai moral dan keluhuran budi.

Berbagai persepsi muncul akan isu “Layangan Putus Versi Gorontalo” yang sebelumnya pernah diterbitkan oleh Fakta News pada tanggal 29 Maret 2022 kemarin, hal tersebut dibuktikan dengan adanya beberapa ancaman terhadap 3 jurnalis dari 3 media berbeda.

Baca : https://faktanews.com/2022/03/29/layangan-putus-versi-gorontalo-oknum-pejabat-menikmati-bawahannya/

Tidak heran, jika persoalan ini dikaitkan dengan kepercayaan adat yang ada di Gorontalo pada umumnya. Dengan masih menganut sistem pemerintahan tradisional, penunjukkan atau pengangkatan seorang pemimpin (Tauwa) atau penguasa  (Olongia), umumnya tidak berdasarkan keturunan atau dinasti, tapi berdasarkan pada keluhuran budi, tingkah laku, tabiat atau perilaku kesehariannya di masyarakat.

Dengan kata lain, untuk menjadi seorang pemimpin di Gorontalo, salah satu kriteria utamanya adalah “Ta Mo’odelo” yang secara terminologi berarti yang “yang bisa membawa”.

Ucapannya, tindakan dan  perilakunya seiring sejalan, selaras dan seirama, bukan seperti kata pepatah “Telunjuk lurus kelingking berkait” lain di mulut lain di hati.

Itulah sebabnya seorang pemimpin di Gorontalo, setelah dilantik harus mengikuti prosesi adat seperti “Moloopu” yang darinya terdapat  syair-syair adat (Tuja’i) yang kesemuanya mengandung nasehat dan petuah yang harus ditaati dan dijunjung tinggi oleh seorang pemimpin.

Dalam prosesi adat itu terdapat ikrar, sumpah (Tadiya) yang harus dijaga bahkan jangan sampai dilanggar.

Itulah sebabnya, dalam perspektif adat Gorontalo sungguh tidak mudah untuk menjadi seorang pemimpin. Apalagi menjadi seorang pemimpin daerah (Tauwa Lo Lipu). 

Tidak mudah, karena menjadi seorang Tauwa  tidak hanya dituntut kapasitas keilmuannya saja, tapi yang lebih penting dan diutamakan adalah integritas atau kapasitas moral dan akhlaknya.

Bahkan dalam banyak ungkapan yang terucap dari para leluhur Gorontalo bahwa pemimpin “ta kewu-kewungo” debo odungga Lo Punungo”  artinya pemimpin  yang bengkok atau yang “menyimpang” dari norma dan tata nilai akan  berakhir “binasa” 

Itulah sebabnya, sebelum memangku jabatan seorang pemimpin mendapatkan ” Tahuli” atau pesan sakral” yang bunyinya  antara lain; “huta-huta Lo  Ito Eyanggu, tulu, tulu Lo Ito Eyanggu, dupoto, dupoto Lo Ito Eyanggu, taluhu, taluhu Lo Ito Eyanggu, bo Dila Poluliya To hilawo..

Maknanya adalah, seorang pemimpin itu memiliki segalanya, bisa melakukan apa saja, ia punya kuasa, tinggal main perintah, tanda tangannya sakti, perintahnya didengar, tapi jangan sekali-kali mengikuti atau memperturutkan  “Hawa Nafsu”

Itulah sebabnya dalam tataran adat Gorontalo terdapat 2  istilah yang ditujukan kepada mereka yang tidak bisa mengendalikan diri. Pertama dikenal dengan istilah  “Puulo” yang bermakna sebagai sesuatu yang berlumur dosa. Kedua adala “biito” yang bila diartikan adalah “kutukan” atau penghakiman yang menghinakan bagi mereka yang melanggar norma adat yang berat.

Biito lebih cenderung diidentifikasikan atau berpotensi  diterima oleh  seseorang yang “Ta Pasi-Pasi” tapi “Dila Hemo popasi”, Ta’odutuwa, bo Dila hemopodutu”, artinya seseorang yang seharusnya menjadi teladan justru tidak mencerminkan keteladanan, seorang Agamawan tapi menginjak-injak ajaran agama dan seterusnya.

Apalagi bagi seorang pemimpin yang sudah melalui prosesi adat atau sudah  disumpah adat “Ta To Tadiya”,namun sumpahnya dilanggar, maka ia terancam “alo Lo Tadiya” atau dimakan sumpahnya sendiri sehingga berpotensi mendapatkan “Biito”

Bisa saja ia selamat dari hukum tertulis atau hukum normatif, namun tidak dengan “biito”. Karena sesungguhnya siapa yang menanam (Lopomulo) maka ia pasti akan memetik dan memanen jua. sebagaimana Biito,maka ia jualah yang akan Momito”o (mengadili) bagi mereka yang “Obito’o yang terlanjur mencederai nilai-nilai moralitas di tengah masyarakat.

Sehingga pada kesimpulannya, jika itu memang benar terjadi di Provinsi Gorontalo. Maka setiap elemen harus segera turun untuk mempertanyakan secara langsung terkait isu upmoral agar Provinsi Gorontalo beserta 5 Kabupaten dan 1 Kota dapat terhindar dari malapetaka yang disebabkan oleh oknum-oknum yang melakukan perbuatan yang menyimpang. ( Bersambung)

Oleh : Jhojo Rumampuk
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Akses berita Faktanews.com dengan cepat di WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029Vae1Mtp5q08VoGyN1a2S. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya. Example 300x300
Example 120x600