Faktanews.com, Tajuk – Selama 2 minggu terakhir, sebuah Kabupaten tengah mempeributkan akan sebuah prosesi mutasi jabatan yang dilaksanakan. Berbagai bentuk kekecewaan lahir baik dari Lembaga Parlemen, Kader Partai hingga mereka para Aparatur Sipil Negara sendiri.
Padahal dari setiap mereka (Parlemen, Politisi dan ASN-red) sudah mengetahui bahwa persoalan Mutasi Pegawai Negeri Sipil merupakan suatu dinamika manajemen kepegawaian pada sebuah Pemerintahan, dan Pemerintah daerah yang menimbulkan fenomena professional maupun politis.
Dalam persepsi pribadi penulis bahwa saat ini memang banyak contoh “Kebiasaan” yang menunjukkan masih terjadi politisasi mutasi jabatan karena adanya faktor profesional masih lemah, regulasi masih ada celah, mekanisme hanya berupa ceremonial saja.
Selain itu juga ada faktor administrasi dan faktor psikologis yang masing-masing faktor ini berdampak pada individu pegawai, baik secara karir maupun psikologis berdampak baik langsung maupun tidak langsung terhadap pegawai terutama jenjang karir dan kompetensi jabatan serta dampak organisasional dengan tidak berfungsinya Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan.
Sangatlah jelas, Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan sebuah perwujudan dari dinamika dari sebuah organisasi Pemerintahan, sementara itu, jelas pula banyak terjadi bahwa dalam kualifikasi, kompetensi dan penilaian kinerja terkadang diabaikan guna untuk memenuhi sebuah hasrat orangnya si A, si B serta si C agar dapat tercover.
Kejadian inilah yang menjadi sebuah unsur politis dan subjektifitas seringkali mendominasi dalam setiap pengisian jabatan struktural PNS, dimana kepentingan birokrasi untuk mengeksitensikan semangat meraih dukungan politik dari masyarakat ataupun kelompok etnis ini yang semakin memicu pandangan negatif publik, bahwa untuk menempatkan seorang PNS dalam jabatan strukturalnya lebih ditentukan oleh faktor like or dislike pejabat politik.
Penulis pernah mendengar bahwa Mutasi Pejabat yang berada disalah satu Daerah yang ada di Provinsi Gorontalo menuai kontroversi, Ada yang ingin kerabatnya menduduki jabatan strategis dan ada pula yang menginginkan agar koleganya menduduki jabatan penguasa wilayah agar kepentingan politik terpenuhi, bahkan ada yang bersikeras agar orang yang dibawah tangannya menduduki jabatan disebabkan sebuah reward pasca Pemilukada.
Sehingga keinginan ini akan tertuju pada Kepala Daerah, Sekretaris Daerah dan Tim Baperjaka. Hal tersebut menyebabkan terjadinya politisasi birokrasi dan menyeret birokrasi ke kondisi masih terikat dengan budaya birokrasi masa lalu yang sangat Patrimonial dan otoritarian karena rendahnya kedewasaan berprilaku kalangan birokrat yang secara pragmatisme birokrat mengejar kekuasaan dalam memanfaatkan potensi otonomi daerah untuk mencapai banyak kepentingan.
Penulis: Jhojo Rumampuk