Faktanews.com, Tajuk – Belum lama ini, masyarakat Pohuwato kembali berduka dengan meninggalnya 4 orang pencari emas di lokasi tambang emas ilegal yang berada di Botudulanga, Rabu 18 Agustus 2021. Hal ini membuktikan tentang bagaimana kinerja Polri dalam menangani pengrusakan lingkungan di Kabupaten Pohuwato.
4 pencari emas liar ini berdasarkan informasi yang berhasil dirangkum oleh Fakta News, meninggal dikarenakan tertimbun material dari kubangan tambang emas ilegal yang masih beroperasi tanpa memperdulikan larangan serta Surat Edaran yang dikeluarkan oleh Bupati Pohuwato.
Berdasarkan konfirmasi, Kapolres Pohuwato AKBP Joko Sulistiono membenarkan peristiwa tentang meninggalnya 3 orang masyarakat Kecamatan Dengilo dan 1 orang warga Kecamatan Mananggu Kabupaten Boalemo dan 1 orang lainnya saat ini tengah dirawat di Rumah Sakit Bumi Panua.
Ketika saya mengingat lagi kejadian sebelumnya, dalam pemberitaan dibeberapa media online menyatakan bahwa Kapolres Pohuwato telah berhasil mengamankan 51 alat berat pada tanggal 29 Juli 2021. Hal tersebut merupakan tindak lanjut dari Surat Edaran (SE) nomor 009/PEM/1039 tentang himbauan penghentian penggunaan alat berat (Excavator) di areal pertambangan emas wilayah kabupaten Pohuwato yang diterbitkan oleh Bupati pada tanggal 14 Juli 2021.
Anehnya, Kapolres Pohuwato hanya berharap agar pemilik untuk tidak melakukan pertambangan menggunakan alat berat. sementara banyak masyarakat yang tinggal di wilayah persawahan mempertanyakan keberadaan 51 alat berat yang konon katanya telah berhasil diamankan. Sementara aktifitas pertambangan ilegal yang menggunakan alat berat masih tetap berlanjut dan bahkan tetap memasuki wilayah sumber air bersih milik PDAM di Alumutu.
Begitupun dengan Bupati Kabupaten Pohuwato, sebuah penyampaian yang sangat normatif diucapkan. Dari penjelasannya tersebut seolah-olah memberikan angin segar agar publik percaya bahwa Pemerintah Daerah saat ini tengah menseriusi maraknya pertambangan ilegal yang menggunakan alat berat di wilayah Kecamatan Taluduyunu.

Baca
https://faktanews.com/2021/08/18/tambang-ilegal-di-gorontalo-kembali-menelan-korban-jiwa/
Hal ini membuat kita semua berfikir apakah ada babak baru pasca pergantian Kapolres Pohuwato beberapa waktu lalu?. Berbagai macam polemik lahir dari kedua wilayah ini dikarenakan Kecamatan Buntulia sudah tidak lagi menerapkan pekerjaan secara tradisional. Banyak isu yang mengatakan bahwa di Pohuwato itu sendiri telah berhasil mengontrak alat berat dari wilayah Kota Gorontalo hingga Gorontalo Utara, bahkan sampai antar Sulawesi yakni Sulteng dan Sulut.
Kita pun kembali pada tahun 2017 silam. Pada tanggal 26 Juli Polda Gorontalo pernah mengamankan tersangka dan alat bukti, dimana pengungkapan kasus tersebut bermula dari informasi yang diberikan oleh masyarakat tentang adanya tambang ilegal di Kabupaten Pohuwato.
Seiring berjalannya waktu, kegiatan pertambangan ilegal di Pohuwato tetap berjalan sebagaimana mestinya, baik dilaksanakan secara tradisional dan menggunakan Alat Berat. sehingga pada Bulan Mei Tahun 2020, Polres Pohuwato kembali menutup tambang emas ilegal karena diduga menggunakan Mercuri.
Saat ini, seperti ada sebuah kekuatan besar dari tubuh para pengusaha pertambangan yang menggunakan alat berat. Kekuatan ini bisa dikatakan melebihi kewenangan siapa dan bahkan lembaga apapun yang membuat para pengusaha yang tadinya menurunkan alat beratnya dan kini berani melawan dengan cara mengeluarkan kembali alat-alat yang disembunyikan di hutan belantara.
Ketika kita berbicara tentang Pertambangan Rakyat, kerusakan akan lingkungan dan semua ini adalah kepentingan siapa. Apakah masyarakat yang harus dipersalahkan?.

Tentu tidak, penulis mempunyai asumsi lain akan hal tersebut. dimana setelah bincang-bincang dengan pelaku pertambangan dan masyarakat pemerhati lingkungan, keduanya memiliki persepsi yang sama akan apa yang terjadi.
Keduanya mengatakan bahwa Polres Pohuwato dan Polda Gorontalo saat ini terkesan tidak serius menangani persoalan pertambangan yang ada di Bumi Panua. Ditambah lagi apa yang akan mereka hadapi nanti ketika pertambangan tersebut sudah masuk dalam Kawasan Hutan, dua diantaranya masuk pada Kawasan Cagar Alam. Lantas, siapa yang dipersalahkan pada konflik tambang ini?.
Lagi-lagi Kami melihat, konflik ini sengaja dibiarkan, yang akhirnya berdampak pada kerusakan lingkungan dan konflik antara masyarakat penambangan dan masyarakat yang terkena dampak.
Padahal dengan hadirnya wajah pemimpin baru baik Bupati Pohuwato dan Kapolres Pohuwato, banyak masyarakat yang terkena dampak berharap adanya sebuah regulasi baru serta solusi tentang dunia pertambangan dan wilayah pertanian serta kebutuhan air bersih masyarakat tidak akan saling terganggu.
Baca :
https://faktanews.com/2021/01/17/dprd-pohuwato-akan-bahas-rusaknya-pipa-pdam-di-wilayah-tambang/
Tak banyak pula dikalangan pemuda mengatakan bahwa Soal PETI di Pohuwato “Diam Beroperasi, Ribut Ditertibkan“. Sehingga tidak mengherankan apabila tidak ada sanksi yang dikenakan dan lebih cenderung berupa Surat Edaran dan himbauan dibanding menjatuhi sanksi pidana, lantas harus berapa banyak lagi korban yang harus dipenuhi agar pihak Penegak Hukum benar-benar turun untuk melakukan penertiban yang sebenarnya ?
Padahal dalam Pasal 161 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 jo Nomor 3 Tahun 2020 sangat jelas mengatakan bahwa Setiap orang atau pemegang IUP Operasi Produksi atau IUPK Operasi Produksi yang menampung, memanfaatkan, melakukan pengolahan, dan pemurnian, pengangkutan, penjualan mineral dan batubara yang bukan dari pemegang IUP, IUPK, atau izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37,Pasal 40 ayat (3),Pasal 43 ayat (2),Pasal 48,Pasal 67 ayat (1),Pasal 74 ayat (1),Pasal 81 ayat (2),Pasal 103 ayat (2),Pasal 104 ayat (3), atau Pasal 105 ayat (1) mendapatkan ganjaran Sanksi Penjara paling lama 10 tahun dan Denda paling banyak Rp.10.000.000.000 (sepuluh milyar rupiah).
Penulis: Jhojo