Faktanews.com – (Tajuk), Alkisah, beberapa tahun yang telah lalu. Di suatu daerah yang diapit oleh sungai di sebelah kiri, lautan di sebelah kanan, dan gunung-gunung yang menjulang tinggi di antara keduanya, sekolompok manusia bergembira dengan kegembiraan yang tiada tara. Setelah hampir satu dekade dipimpin oleh orang-orang yang tidak mereka sukai, akhirnya, tibalah masanya di mana mereka mendapatkan pemimpin berdarah asli daerah. Oh iya, sebut saja nama daerah itu, Desa Buahulo.
Dumoko. Ya, Dumoko namanya. Pria yang menghabiskan masa muda, dengan tidak pernah sedikitpun diperhitungkan orang-orang. Di saat teman-teman sebayanya sekolah setinggi-tingginya untuk mencari titel sarjana, dia menyibukkan diri berbisnis, mengumpulkan pundi-pundi rupiah. Di saat orang-orang pusing dengan keadaan desa Buohulo yang tak kunjung berubah, dia malah tak ambil pusing asal jangan diusik, toh dia tetap membayar pajak secara rutin atas semua usahanya. Ya, Dumoko yang dulu, yang kaya raya dan tidak sombong, yang tidak peduli dengan keadaan sekitar, berbeda dengan Dumoko yang sekarang, yang lebih perhatian terhadap setiap orang, yang peduli terhadap daerahnya, yang peduli atas apa pun yang terjadi di Desa Buahulo. Sebab, sekarang Dumoko telah diberikan kepercayaan oleh masyarakat Buahulo, untuk menjadi pemimpin mereka.

Singkat cerita, tujuh tahun sudah berlalu sejak Dumoko dilantik di balai desa secara adat, karena dipercayakan untuk memegang amanat masyarakat. Sayangnya, sudah tujuh tahun pula Desa Buahulo tidak terjadi perubahan yang signifikan. Hanya ada resah dan gelisah yang menghantui aparat-aparat desa. Alasannya, hanya satu, orang-orang yang berada di sekitar Dumoko sangat menyeramkan. Parahnya, Dumoko sama sekali tidak mengetahui hal itu. Karena mereka-mereka yang dekat dengannya selalu melaporkan yang baik-baik saja, walau secara sadar, mereka tahu bahwa keadaan Desa Buahulo sangat tidak baik-baik saja.
Ketidaktahuan Dumoko selain yang baik-baik saja tentang Buahulo, semacam momok menakutkan, dan setiap hari mengancam kelangsungan hidup para aparat. Alhasil, setiap kali ada aparat pembantu melakukan sedikit kesalahan, langsung diberhentikan dari pekerjaan. Syukur-syukur diberhentikan, malah ada yang diusir dari desa, kampung halaman dan tumpah darah mereka. (Kalau mo pake bahasa administrasi negara, diberhentikan = non job, diusir = mutasi :p)
Buahulo pun tumbuh seperti desa mati. Lebih dan bahkan bertambah buruk dari masa kepemimpinan orang-orang sebelum Dumoko.
Keadaan Buahulo yang semakin acak kadut ini akhirnya mengetuk pintu hati dan menyadarkan logika sekumpulan anak-anak muda desa. Anak-anak muda ini memilih untuk kembali. Meskipun studi mereka di negeri rantau belum juga rampung, pulang jadi satu-satunya pilihan untuk berbakti, demi Buahulo yang mereka cintai.
Semua ini karena memang Buahulo sudah sangat memprihatinkan dan butuh diperhatikan. Sebut saja mereka-mereka itu dengan panggilan, Nakula, Ramos, Falcao, dan Kamasutra, serta beberapa orang lainnya yang ikut bergabung bersama mereka. Dengan jumlah dan kekuataan yang tidak seberapa, mereka mencoba turun ke jalan. Berteriak berdemonstrasi di bawah panasnya mentari. Menyuarakan kejanggalan-kejanggalan yang terjadi dikepemimpinan Dumoko. Namun, usaha mereka nihil. Tetap saja suara serak mereka hanya sekedar didengarkan tanpa dihiraukan. Semua cara telah dilakukan, tetap tidak menghasilkan. Sampai-sampai kutukan keras Kamasutra atas ketidakadilan, harus berakhir dalam dekapan dingin dinding tahanan selama sebulan. Dan Buahulo, juga tak kunjung memperlihatkan perubahan.
Akhirnya, Kamasutra yang kembali merasakan kebebasan atas tirani kekuasaan, kembali ke Ibu Kota. Ramos pulang ke perantauan. Falcao sibuk dalam misi kemanusiaan. Tersisa Nakula yang terlihat seperti pengangguran. Padahal, ia pimpinan sebuah organisasi besar perkotaan. Sebuah perjanjian diikrarkan, mereka berpisah bukan menyerah, tetapi strategi perlawanan atas kesewenang-wenangan yang harus diubah.
Hari berganti, minggu berlalu, bulan pun berganti tahun.
Tahun baru dimulai. Akses internet masuk Buahulo. Instruksi pusat atas transparansi pekerjaan pemerintah desa digalakkan. Dana masuk dana keluar jelas, semua masyarakat bisa mengaksesnya. Tapi, di sini pula awal mula tragedi. Masyarakat yang semakin paham atas perkembangan zaman, tidak berimbang dengan pemahaman pemerintahan Dumoko yang seakan-akan gagap akan perkembangan. Pemerintah yang menggalakkan transparansi, tapi pemerintah pula yang tak paham teknologi.
Apendean, anak buah Dumoko yang selalu ingin berbuat untuk Buahulo, mencoba memanfaatkan perkembangan zaman ini demi kemajuan Buahulo dan kesejahteraan masyarakatnya. Ditambah lagi dengan instruksi pemerintah pusat mengenai pemerintahan yang transparansi. Dia kerjakan apa yang menjadi tanggung jawabnya. Dia lakukan apa yang masyarakat harapkan. Semuanya atas nama kejayaan Buahulo yang lebih cemerlang.
Nakula, masih tetap sama seperti biasanya. Ada kejanggalan dalam pemerintahan, dia hantam. Tapi kali ini diberitakan lewat media-media yang semakin menjamur di Buaholo karena mengikuti perkembangan zaman.
Ancaraga, sebagai wakil Dumoko. Humandango, sekretarisnya. Juga ada Encaraka sebagai pimpinan lembaga masyarakat Buahulo. Susupo, aparat desa tapi dalam kenyataannya dia seolah-olah menjadi pimpinannya pimpipinan meskipun status sebenarnya adalah bawahan pimpinan. Molliuloboss dan Rapopo, aparat desa yang sangat berkarib dengan Susupo. Di bawah kendali mereka-mereka inilah sebenarnya kemajuan Buaholo ditentukan. Tetapi, karena ulah mereka pula, para aparat dan masyarakat Buahulo dirundung kecemasan dan ketakutan.
Hari itu, Nakula menyampaikan ke khalayak atas besaran kebutuhan dan pengeluaran pemerintahan desa Buahulo untuk setahun ke depan. Sebenarnya ini hal biasa, karena semua data tentang keuangan pemerintah bisa diakses siapa saja. Tetapi, karena ketidakpahaman tentang perkembangan zaman, akhirnya terjadi keributan. Orang-orang yang tergabung dalam kepemimpinan Dumoko seperti kebakaran jenggot, penyampaian Nakula ke masyarakat perihal pengeluaran pemerintah, seperti ledakan di tengah kesunyian. Mereka pun saling tuduh. Saling lempar tanggung jawab. Saling melepaskan tanggung jawab. Panggil Bukoko, wartawan yang siap sedia memberitakan semua kebaikan pemerintah. Tidak apa-apa berita karangan, asal tetap untuk kebaikan pemerintah. Tidak mengapa berita bohongan, yang penting citra pemerintah makin cemerlang. Semuanya tidak masalah, asal dapat uang.
Media pun pasang badan. Berita tentang Nakula naik tayang. Bahwa apa yang disampaikan Nakula hanya sekedar ingin cari sensasi. Bahwa di dalam pemerintahan Buahulo data-data dibocorkan oleh orang sialan. Padahal mereka saja yang sialan dan tidak paham.
Namanya juga wartawan bayaran. Berita yang disadurkan pasti tidak karuan. Yang ada hanya ajang saling mencari kepentingan. Apendean sebagai aparat pemerintah dan bawahan Dumoko, yang memiliki kedekatan dengan Nakula, jadi tersangka. Ia dituduh. Difitnah. Dikatakan pengkhianat karena kebocoran data itu disebabkan ulahnya. Dikatakan mata-mata, karena gara-gara sengaja menyerahkan data ke Nakula agar tercipta kegaduhan.
Kegaduhan makin jadi. Sama jadinya dengan media-media bayaran yang tayangkan berita tanpa bukti dan konfirmasi. Ramai-ramai menyerang Apendean. Berita-berita karangan beredar tidak karuan. Buahulo kembali dikacaukan, oleh sekelompok orang yang tidak sadar sebagai pecundang.
Sedangkan saya? Di tengah pekatnya gulita malam, tanpa jajaran gemintang yang biasanya bermahkotakan bulan, mencoba tetap santuy membuat tulisan, mengarang cerita-cerita khayalan, sambil menatap ke arah langit yang kelam, seperti menangis ia sabdakan atas alam;
“Tengoklah keadaan kampung halaman yang semakin karam. Meneroponglah jauh ke dalam ingatan masa silam, di sana akan kau temukan kedamaian, yang hari ini tak lagi damai.”
Editor : MN Fadli Thalib