Funco Tanipu
(Sosiolog Universitas Negeri Gorontalo)
Jika sebelum Provinsi, agenda semua kalangan adalah mem-Provinsi-kan Gorontalo, semua potensi dan sumber daya dimobilisasi untuk itu. Tak mengenal strata dan status, semua bergagendakan yang sama ; Provinsi Gorontalo.
Gorontalo apapun nanti, dan setelah itu, pokoknya mesti jadi Provinsi. Gorontalo saat itu adalah Gorontalo 1.0, berorientasi kepada product-centric dan institutional centric.
Tujuan itupun berhasil. Provinsi terbentuk. bagi-bagi kekuasaan pun terdistribusi, walaupun belum secara merata dan adil. Gemilang sekaligus juga menggelembung. Gelembung dalam artian masih sebatas citra seperti balon.
Masa itu adalah masa Gorontalo 2.0. Masa itu adalah mengembalikan kebangggaan akan identitas ke-Gorontalo-an yang “berhamburan” sesaat masih dengan Sulawesi Utara. Rakyat sedikitnya bisa bernafas enak. Pada era itu, negara berusaha meraih pikiran dan hati publik. Sayangnya, pendekatan ini secara implisit bahwa publik adalah target pasif. Publik dianggap puas dengan gelembung citra. kerja-kerja negara masih bersifat jangka pendek. Masih sebatas public-centric.
Memasuki era saat ini yang lebih kompleks, dengan tafsir soal “border” yang lebih kontekstual. Maka, agenda Gorontalo 3.0 mesti bukan untuk pemenuhan “perut” publik, tapi sekaligus juga untuk pemenuhan fungsional dan emosional serta juga pemenuhan spirit.
Gorontalo 3.0 adalah agenda yang merayakan aspirasi, nilai-nilai dan human spirit. Pendekatan pembangunan tidak bisa semata fisik semata, apalagi berorientasi mencapai target serapan anggaran. Mesti lebih dari itu.
Gorontalo 3.0 adalah juga kondisi komplek di tengah krisis glola yang di depan mata, target penerimaan pajak yang rendak, pemangkasan anggaran yang besar, kriminalitas meningkat, mutu pendidikan semakin rendah walaupun angka partisipasi naik. Pada keadaan yang sama, penyakit menjadi pandemi, kemiskinan menggurita, kerusakan lingkungan terus terjadi. Juga dalam waktu yang sama, negara ini telah dengan berani menyepakati masuknya modal yang luar biasa besar dan diikuti oleh pemaksaan untuk penyesuaian regulasi agar bisa sesuai dengan selera pasar. Di level makro, kebudayaan Gorontalo berada di tubir peradaban, tak jelas mengarah kemana. Semua bersifat simbolik, penuh gempita dan mesti diiringi baliho dan tepuk tangan.
Gorontalo 3.0 adalah agenda untuk masa yang bergolak. Prinsip masa ini dibentuk dari segitiga faktor ; partisipasi yang semakin aktif dan horizontal (digital to konvergen), paradoks globalisasi, dan semakin kreatifnya generasi Z. Dalam saat yang sama, negara masih dikelola oleh generasi X dengan pola berpikir yang analog.
Gorontalo 3.0 adalah masa dimana new wave technology menjadi kekuatan penggerak. Inti gerakan ada pada values-driven. Values yang bagaimana? Dan seperti apa? Metodenya seperti apa? Vaues yang dimaksud adalah kumpulan modal sosial lokal Gorontalo yang mesti digali kembali ; huyula, bilohe, tolianga, hulunga, himbunga, timoa, depita, bayawa, bubaya, hiyo, palita, tiayo, heyiya, dan banyak modal sosial lainnya.
Prinsip lokal diatas adalah values-driven yang bisa diterjemahkan menjadi economic-driven dan social-driven.
Sebagai contoh, hulunga adalah model bekerja bersama oleh seluruh masyarakat secara partisipatif. Hasil dan bukti dari sistem Hulunga ini bisa kita saksikan pada saluran irigasi Tanggidaa yang dibangun pada 6 Sya’ban 1140 H atau 19 Juni 1728. Begitu juga dengan dembula, yakni model saling memberikan bantuan tanpa balasan dalam prosesi kematin, pernikahan dan lain-lain.
Contoh diatas adalah bukti bahwa pada masa lalu, values-driven telah terbukti bisa menyatukan derap Gorontalo, baik untuk menyatukan masyarakat maupun bisa membangkitkan partisipasi publik. Berbeda dengan kondisi saat ini yang bisa kita dengar di kampung-kampung “mapilo biasaliyo lo doyi wanu dila jamo karaja”:
Torehan kisah masa lalu dan bukti historisnya adalah penting untuk direfleksikan secara komprehhensif dan kolaboratif. Perlu adanya semangat kolaborasi antar masa dan antar periode. Tanpa itu, kita hanya berada pada sintesis dendam kesumat antar periode. Sebagai contoh, setiap ganti pemimpin, selalu ganti tema, ganti kulit dan jika perlu ganti spirit, Sejarah itu tidak bisa diperlakukan sebagai benda, tapi sebagai memori untuk pengalaman sebagai guru di masa depan.
Dunia yang saat ini sedang bergolak perlu adanya perenungan secara mendalam, leluhur kita punya keberhasilan dalam mengelola gejolak di masa mereka tanpa harus mempertaruhkan prinsip ke-Gorontalo-an mereka. Mereka bisa beradaptasi dan berkolaborasi di tengah keterbasan sumber daya.
Di era saat ini dimana “batas” semakin tipis dan longgar, tafsir soal nasionalisme, kedaerahan dan negara berada di ambang batas. Perlu ada peneguhan kembali soal sikap bersama, many to many. Bukan lagi one-to-one apalagi one-to-many.
Dunia yang bergolak tidak bisa diubah dengan cara berpikir satu dan dua orang, atau beberapa kelompok. Perebutan sumberdaya baik di level kekuasaan maupun ekonomi mesti ditafsirkan sekaligus direnungkan kembali. Kecuali memang tidak ada niat untuk mewariskan kebaikan dan sumberdaya bagi generasi di masa akan datang. Pada sikap ini, generasi akan datang hanya akan bisa mengutuk kita yang berada di masa kini.
Di masa Gorontalo 3.0 nanti, ada suatu keadaan dimana citizen akan saling berebut pengaruh dengan netizen. Baik opini, legitimasi maupun sumberdaya. Perebutan ruang ini semakin nyata jika kita bisa melihat aneka ragam keadaan di media sosial.
Gorontalo 3.0 adalah masa mengesktrak values di masa lalu dan “menikahkannya” dengan spirit new wave technology di masa kini. Sebagaimana kreatifitas leluruh kita di masa yang penuh keterbatasan, namun bisa mencetak banyak karya, tapi tetap menjamin kekentalan kekerabatan satu sama lain. Berbeda dengan kondisi saat ini, tarik menarik legitimasi jangka pendek misalnya untuk Pemilhan Gubernur telah mengakibatkan kerakusan dan kemerosotan nilai dan pada akhirnya mewariskan jejaring dendam yang tak pernah usai.
Maka, menjatuhkan pilihan prinsip dan agenda untuk masa depan adalah hal urgen untuk segera dilaksanakan. Siapapun pemimpin di masa akan datang, mau tidak mau mesti melepaskan ego sektoralnya untuk kebaikan bersama demi merawat warisan untuk generasi masa depan.