Oleh : Jhojo Rumampuk
Kemampuan Keuangan Daerah (KKD) merupakan salah satu indikator penting yang menggambarkan kapasitas fiskal pemerintah daerah dalam menjalankan fungsi pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan publik.
KKD bukan sekadar angka dalam tabel keuangan daerah, melainkan refleksi nyata dari kemandirian fiskal, transparansi tata kelola, dan integritas para pengelola anggaran publik.
Dasar Hukum Rumusan KKD
Secara normatif, rumusan KKD berakar dari sejumlah regulasi yang mengikat:
1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang mengamanatkan pentingnya pengukuran kemampuan keuangan sebagai basis pembagian urusan antara pusat dan /, yang menekankan aspek kemandirian fiskal daerah.
2. Permendagri Nomor 77 Tahun 2020 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah, yang memuat ketentuan teknis rumusan indikator KKD.
3. Peraturan Menteri Keuangan dan Keputusan Menteri Dalam Negeri terkait penghitungan Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Bagi Hasil (DBH), serta indikator fiskal lain yang dijadikan basis analisis KKD.
Umumnya, formula KKD dihitung berdasarkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Transfer dari pusat (DAU, DAK, DBH), dan belanja wajib tertentu.
Ketika KKD sebuah daerah ditetapkan rendah, implikasinya sangat serius:
- Keterbatasan Fiskal Ruang daerah menyempit, sehingga pemerintah daerah bergantung pada transfer pusat. Akibatnya, janji politik kepala daerah seringkali tidak dapat diwujudkan.
- Pembatasan Tunjangan DPRD Sesuai dengan ketentuan tunjangan komunikasi intensif (TKI) atau tunjangan reses anggota DPRD, jumlah yang diterima sangat dipengaruhi oleh klasifikasi KKD. Jika KKD rendah, maka besaran tunjangan ikut rendah.
- Melemahnya Kewenangan Fiskal. KKD rendah membuat daerah tidak leluasa menentukan prioritas pembangunan karena tergantung pusat.
- Rendahnya KKD menunjukkan lemahnya kinerja penggalian PAD, sehingga publik menilai pemerintah daerah tidak inovatif.
Di sinilah persoalan serius muncul. Tidak jarang, angka KKD diduga “dimainkan” agar status berubah dari rendah ke sedang. Mengapa? Karena perubahan klasifikasi KKD membawa dampak langsung pada kenaikan tunjangan pejabat dan anggota DPRD.
Rekayasa Laporan PAD
PAD ditampilkan lebih besar dari realita, misalnya dengan menggelembungkan potensi retribusi atau pajak.
Pengaburan Belanja Wajib
Beberapa pos belanja sengaja dipindahkan atau dikamuflase agar rasio KKD terlihat membaik.
Interpretasi Fleksibel Regulasi
Rumusan indikator KKD dipelintir dengan tafsir longgar demi “menaikkan kelas” fiskal.
Kompromi Elite Politik dan Birokrasi
Terdapat kemungkinan kolusi antara pejabat eksekutif dan legislatif untuk meloloskan angka KKD yang menguntungkan kepentingan mereka.
Jika dugaan manipulasi ini benar, maka sesungguhnya telah terjadi penyimpangan serius atas akuntabilitas keuangan negara. Sebab, klasifikasi KKD bukan hanya soal tunjangan, melainkan basis perencanaan pembangunan, alokasi anggaran pusat, hingga evaluasi kinerja daerah oleh Kementerian Dalam Negeri.
Manipulasi KKD dapat berimplikasi hukum serius:
1. Tindak Pidana Korupsi. Jika terbukti ada rekayasa laporan keuangan yang merugikan negara, maka pejabat terkait bisa dijerat dengan UU Tipikor.
2. Pelanggaran Kode Etik. Baik eksekutif maupun legislatif yang bermain di angka KKD jelas melanggar sumpah jabatan.
3. Sanksi Administratif. Pemerintah pusat dapat menjatuhkan sanksi melalui penundaan transfer dana pusat, hingga pencabutan kewenangan tertentu.
KKD semestinya dilihat sebagai cermin integritas fiskal daerah, bukan sekadar alat untuk memperbesar hak-hak pejabat. Transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi publik dalam proses penentuan indikator KKD mutlak dibutuhkan.
Jika praktik manipulatif KKD terus dibiarkan, maka sesungguhnya yang lahir bukan kemandirian fiskal daerah, melainkan ilusi kemandirian yang justru menjerat daerah dalam jebakan korupsi struktural.