Penulis: Mawan Pakaya
Di daerah saya, ada rumah sakit namanya “RS Tani dan Nelayan.” Tidak mewah, tidak besar, tapi namanya punya rasa. Semacam ada kejujuran dalam sebutan itu—seolah rumah sakit itu benar-benar dibangun untuk mereka yang tangannya kasar karena cangkul, kulitnya hitam lebam karena matahari, atau mereka yang tiap pagi berangkat melawan ombak dan pulang tanpa janji bisa makan malam.
Nama itu tak neko-neko. “Tani dan Nelayan.” Dua kata yang mengakar dalam kehidupan masyarakat kecil di Boalemo. Barangkali nama itu turut mengakar dalam ingatan almarhum bapak saya yang sejak awal ia dirawat karena sakit yang dideritanya.
Tapi entah kenapa, tiba-tiba nama itu mau diganti. Alih-alih rumah sakit itu menyandang nama seorang tokoh. orang besar, mungkin. Orang yang pernah berjasa, katanya. Tapi bagi saya, nama itu terasa asing. Semacam ditempel begitu saja. Bahkan tanpa bertanya ke orang-orang yang tinggal di sekitarnya tetiba nama itu mencuat kepermukaan. Nama yang lebih cocok buat koridor kekuasaan daripada lorong rumah sakit.
Dari ruang yang berbeda akhirnya saya berpikir juga: kenapa ya, nama-nama ruang publik di daerah ini makin hari makin banyak yang pakai nama orang? Bahkan taman pun dikasih nama pejabat. Jalan kecil pun buru-buru dinamai tokoh. Padahal, bukankah “Tani dan Nelayan” juga nama? Nama yang bukan orang, tapi mewakili kehidupan masyarakat Boalemo. Nama itu juga mewakili mereka yang kerja keras tapi sering tak masuk berita.
Dan kalau mau jujur, ini bukan sekadar soal nama. Ini soal memori. Soal siapa yang layak diingat dan siapa yang pelan-pelan dihapus dari kesadaran kita. Wajarlah jika kita menaruh curiga, ini juga bagian dari semacam politik identitas yang licin.
Lewat nama, bukankah kuasa bisa abadi. Lewat nama, narasi bisa dikendalikan. Dan lewat nama, kita diajak mengulang-ngulang sosok yang “harus” kita hormati, bahkan meski kita tak pernah tahu apa yang sebenarnya dia lakukan untuk kita.
Kita bukan anti penghargaan. Tapi kalau semua nama ruang publik isinya cuma nama orang-orang penting versi daerah, terus yang lain bagaimana? Yang tiap hari pergi ke sawah? Yang mengangkat ikan dari laut? Yang membersihkan sampah kota? Yang jelas-jelas mereka banyak berjasa dan memberikan kontribusi kepada kita. Kenapa nama mereka seolah tidak punya tempat di ruang yang sama?!
Ada yang bilang, bahasa itu adalah ideologi. Secara pribadi saya percaya. Sama halanya dengan sebuah nama. Menamai ruang publik itu seperti narasi: siapa yang disebut, dia yang hidup. Siapa yang dilupakan, dia yang tenggelam.
Dan sekarang, RS “Tani dan Nelayan” itu bukan cuma kehilangan namanya, tapi kehilangan ruhnya. Ia tenggalam ke dasar memori paling gelap.
Mungkin nanti anak-anak kita akan melewati gedung usang itu dan mereka tak lagi tahu, bahwa dulu tempat itu pernah didedikasikan untuk para petani dan nelayan. Yang mereka tahu cuma: itu rumah sakit atas nama seseorang yang wajahnya terpampang di lobby, lengkap dengan kutipan yang terlalu formal buat dirasakan.
Jik sudah begitu, maka disitulah letak kekalahan kita. Bukan karena kita tidak memiliki nama besar seorang tokoh yang lahir dan berjasa di daerah ini. Tapi karena kita membiarkan mereka yang sederhana—yang benar-benar berjasa—hilang dari papan nama!
Tulisan ini di dedikasikan untuk Kaka Yolan.