Penulis: Fadli Thalib
Faktanews.com, Tajuk – Indonesia adalah negeri yang diberkahi kekayaan alam melimpah. Tanahnya subur, airnya berlimpah, dan perut buminya menyimpan emas, nikel, batu bara, dan berbagai mineral bernilai tinggi. Tapi di balik kekayaan itu, tersembunyi sebuah ironi besar. Tambang-tambang ilegal yang tak hanya merusak lingkungan dan merenggut nyawa, tapi juga menjadi simbol betapa negara bisa kalah oleh kuasa uang.
Hingga 2023, Kementerian ESDM mencatat lebih dari 2.700 titik tambang ilegal tersebar di seluruh Indonesia. Terutama di Kalimantan, Sumatera, dan Sulawesi, termasuk Gorontalo. Di provinsi ini, daerah Pohuwato dan Boalemo sudah tak asing lagi sebagai wilayah “panas” tambang ilegal. Aktivitasnya masif, terbuka, dan terkesan dibiarkan.
Masyarakat tahu. Aktivis tahu. LSM tahu. Bahkan media sudah berulang kali memberitakan. Lalu, kenapa aparat seolah tutup mata? Apakah negara benar-benar tak mampu? Atau jangan-jangan tambang-tambang ini memang sengaja diilegalkan?
Pertanyaan ini bukan sekadar tudingan kosong. Fakta-fakta di lapangan justru memperkuat kecurigaan itu. Penertiban tambang terkesan tebang pilih. Ada tambang yang digusur, tapi ada juga yang dibiarkan tumbuh subur tanpa sentuhan hukum. Bahkan, beredar kuat dugaan adanya praktik “pengamanan” yang melibatkan oknum aparat, politisi lokal, hingga pejabat daerah. Ada relasi kuasa yang bekerja di balik layar mengamankan tambang demi setoran dan keuntungan pribadi.
Ini bukan lagi tambang ilegal. Ini adalah kejahatan terorganisir. Kenyataannya, tambang ilegal jauh lebih menguntungkan. Tak perlu izin, tak perlu prosedur, cukup modal dan koneksi. Biaya kecil, untung besar. Bahkan, para pelaku bisa berlindung di balik jargon “untuk rakyat”, padahal keuntungan terbesar justru dinikmati segelintir orang.
Di sisi lain, rakyat kecil yang mencoba ikut bertahan hidup dari sisa-sisa hasil tambang malah dituduh perusak hukum. Mereka dijadikan kambing hitam, seolah-olah penyebab kerusakan lingkungan dan konflik sosial. Padahal yang paling merusak adalah sistem yang korup dan permisif ini.
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat 3 dengan tegas menyebut bahwa kekayaan alam dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Tapi di Gorontalo, amanat itu terasa hampa. Negara justru tampak seperti fasilitator bagi kepentingan modal, bukan pelindung rakyat.
Jika tambang-tambang ini terus dibiarkan, dan aparat hukum tetap bermain di belakang layar, maka yang tersisa dari negeri kaya ini hanyalah tanah rusak, air tercemar, dan generasi yang diwarisi kehancuran.
Dan jika semua ini sengaja dibiarkan, maka kita tak bisa lagi menyebutnya tambang ilegal, tapi tambang yang sengaja diilegalkan.
” Toh, di negeri tambang ini, hukum itu fleksibel. Bisa dibengkokkan sesuai kebutuhan. Dan tambang-tambang itu? Bukan ilegal. Mereka hanya belum sempat disahkan atau malah sengaja diilegalkan”.