Penulis: Fadli Thalib
Faktanews.com, Tajuk – Ketidakhadiran 30 anggota DPRD Provinsi Gorontalo dalam sidang paripurna pidato sambutan Gubernur dan Wakil Gubernur Gorontalo terpilih untuk periode 2025-2030 Senin (10/3/2025) siang, menimbulkan tanda tanya besar di benak publik.
Dalam dunia politik, sebuah sidang paripurna adalah simbol dari penghormatan dan komitmen terhadap demokrasi. Namun, absennya lebih setengah dari anggota legislatif ini bukan hanya sebuah kebetulan. Ketidakhadiran ini bisa saja sinyal yang tidak bisa diabaikan begitu saja, dan justru mengundang berbagai spekulasi yang bisa mempengaruhi stabilitas pemerintahan daerah ke depan.
Di satu sisi, ketidakhadiran ini bisa dibaca sebagai kegagalan dalam menjaga komunikasi antara eksekutif dan legislatif. Gubernur terpilih sudah sah secara hukum, hasil keputusan KPU telah menegaskan posisi Gusnar-Idah untuk memimpin Gorontalo selama lima tahun ke depan.
Namun, absennya anggota DPRD pada momen penting ini menunjukkan bahwa ada sesuatu yang tidak beres dalam hubungan antara pemerintah provinsi dan wakil rakyat. Sebuah pemerintahan yang sehat membutuhkan sinergi antara dua lembaga ini, dan tanpa itu, kita bisa saja menyaksikan terhambatnya kebijakan yang seharusnya dapat mendorong kemajuan daerah.
Dugaan yang lebih mengarah pada adanya perpecahan politik di dalam tubuh DPRD pun tak bisa dielakkan. Apakah ketidakhadiran ini merupakan bentuk ketidaksetujuan terhadap kepemimpinan Gusnar-Idah? Mungkin saja. Dalam dunia politik, absennya para legislator bisa jadi lebih dari sekadar tindakan administratif; ini adalah sebuah pernyataan politik.
Dan jika ketidakhadiran ini terkesan sebagai ancaman atau bentuk perlawanan terhadap pemerintah yang baru, maka kita bisa membayangkan potensi ketegangan yang akan mengganggu jalannya pemerintahan. Bahkan, pemakzulan terhadap gubernur terpilih pun bukanlah sebuah ide yang mustahil, mengingat sejarah ketegangan serupa pernah muncul dalam dinamika politik daerah.
Namun, ketidakhadiran ini juga dapat menjadi cermin buruk bagi demokrasi kita. Sidang paripurna pertama setelah pemilihan kepala daerah mestinya menjadi momentum kebersamaan, memperlihatkan bahwa perbedaan politik yang ada tidak menghalangi tujuan bersama untuk kesejahteraan rakyat.
Ketidakhadiran sebagian besar anggota DPRD justru menunjukkan adanya gap yang semakin lebar antara rakyat yang memilih dan wakil-wakil mereka di legislatif. Jika konflik ini tidak segera diredakan, alih-alih membangun daerah, yang terjadi justru stagnasi, ketidakpastian, dan politik praktis yang semakin mengaburkan fokus pada kepentingan rakyat.
Di sisi lain, tak bisa dipungkiri bahwa ketidakhadiran ini juga merupakan sebuah peringatan kepada eksekutif. Pemerintahan Gusnar-Idah harus menyadari bahwa mereka tidak boleh lengah dalam mempererat hubungan dengan legislatif. Komunikasi yang kuat, pengelolaan konflik yang bijaksana, dan upaya menciptakan kesepahaman dalam kebijakan akan sangat menentukan masa depan pemerintahan mereka. Jika tidak, ketegangan ini akan menjadi ancaman besar, yang bisa menghambat bahkan menghancurkan semua program pembangunan yang telah direncanakan.
Pada akhirnya, ketidakhadiran anggota DPRD dalam sidang paripurna ini bukan hanya soal sikap individu, tetapi juga gambaran tentang bagaimana hubungan antara eksekutif dan legislatif dapat memengaruhi jalannya pemerintahan daerah. Apalagi anak dari sang Gubernur adalah salah satu anggota DPRD yang juga sebagai ketua partai pengusung Gusnar – Idah pada Pilkada kemarin.
Jika konflik ini terus berkembang tanpa adanya upaya penyelesaian, bisa dipastikan Provinsi Gorontalo akan menghadapi tantangan besar dalam mencapai visi dan misi pembangunan yang telah ditetapkan. Kini, bola berada di tangan kedua belah pihak—apakah mereka akan saling membangun atau justru saling meruntuhkan? Waktu yang akan memberi jawabannya.