Pertanyaan tentang layak atau tidaknya seorang mantan bupati yang pernah menjadi terpidana kasus tindak pidana korupsi untuk mencalonkan kembali di Pilkada 2024 menimbulkan perdebatan serius.
Kasus yang melibatkan mantan Bupati Bone Bolango, yang dinyatakan bersalah dalam kasus korupsi proyek pengendalian banjir tahun 2008 dengan kerugian negara mencapai Rp 5,1 miliar, menjadi sorotan publik.
Dalam kasus ini, mantan Bupati tersebut terbukti melakukan pelanggaran serius dalam proses tender proyek, dimana prosedur yang semestinya dijalankan diabaikan dan dilakukan penunjukan langsung terhadap pelaksana proyek.
Salah satu pihak yang ditunjuk adalah anaknya sendiri, tindakan yang jelas melanggar prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik dan transparan.
Mengacu pada prinsip demokrasi, setiap orang yang telah menjalani hukuman dan dianggap “bersih” oleh sistem hukum dapat mencalonkan diri kembali dalam kontestasi politik.
Namun, masyarakat juga perlu mempertimbangkan aspek moral dan integritas yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Seorang pemimpin bukan hanya harus cerdas dan berkapasitas, tetapi juga memiliki integritas yang tinggi.
Keterlibatan dalam kasus korupsi, apalagi yang telah merugikan negara dalam jumlah besar, seharusnya menjadi pertimbangan moral yang berat bagi calon pemimpin.
Korupsi bukan hanya kejahatan terhadap keuangan negara, tetapi juga merupakan pengkhianatan terhadap kepercayaan publik. Masyarakat, yang berharap pada kepemimpinan yang bersih, cenderung memandang skeptis ketika figur yang pernah terlibat dalam kasus korupsi mencoba kembali ke panggung politik.
Apalagi, dalam konteks daerah yang sangat bergantung pada kepercayaan publik untuk pembangunan, pemimpin yang memiliki rekam jejak buruk dalam korupsi akan sulit mendapatkan dukungan moral dari warganya.
Pilihan untuk mencalonkan kembali bisa dilihat sebagai upaya mempertahankan kekuasaan, tanpa memperhatikan pentingnya perbaikan citra publik dan komitmen untuk memperbaiki pemerintahan.
Sebagai pemilih, masyarakat perlu lebih kritis dalam memilih pemimpin. Seorang pemimpin yang bersih dari korupsi dan memiliki visi untuk memajukan daerah tanpa praktik kotor adalah yang dibutuhkan untuk masa depan yang lebih baik.
Jika mantan terpidana korupsi diizinkan untuk kembali berkuasa, ada risiko bahwa pola-pola koruptif akan terulang kembali. Hal ini bisa menurunkan standar integritas pemerintahan dan semakin melemahkan kepercayaan publik terhadap demokrasi.
Sebagai penutup, keputusan apakah seorang mantan terpidana korupsi layak mencalonkan diri kembali di Pilkada 2024 tidak hanya bergantung pada aspek hukum, tetapi juga pada penilaian masyarakat terhadap etika, integritas, dan kejujuran calon tersebut.
Masyarakat memiliki hak untuk mempertanyakan, apakah calon yang pernah melakukan kejahatan serius terhadap negara masih layak dipercaya memimpin?