Oleh : Jhojo Rumampuk
Aktivitas Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di wilayah DAM, yang merupakan sumber mata air bersih bagi masyarakat Pohuwato, kini kian marak dan terkesan tak terkendali.
Kehadiran sejumlah alat berat seperti excavator yang masuk ke wilayah tersebut menunjukkan bagaimana penegakan hukum di Bumi Panua nyaris lumpuh.
Polres Pohuwato, yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam menjaga hukum dan melindungi lingkungan, justru tampak seolah menutup mata dan tuli terhadap fakta-fakta yang ada.
Keberadaan excavator di lokasi yang jelas-jelas vital bagi kehidupan masyarakat sama sekali tidak mendapat respons tegas.
Pertanyaannya adalah, mengapa penegakan hukum di Pohuwato terkait PETI ini begitu lemah?
Apakah ada kekuatan besar di balik aktivitas tambang ilegal ini yang membuat aparat hukum terkesan tidak berdaya?
Dugaan kuat muncul bahwa sang aktor intelektual di balik PETI ini adalah YL alias Ka Yusuf, yang kebetulan sedang menjalani proses sebagai calon Pengganti Antar Waktu (PAW) anggota DPRD Pohuwato. Posisi politik yang diincar oleh YL serta afiliasinya dengan Partai NasDem memunculkan pertanyaan:
Apakah kuatnya pengaruh politik ini yang menyebabkan hukum di Polres Pohuwato runtuh?
Seharusnya, hukum ditegakkan tanpa memandang siapa yang terlibat. Namun, jika pengaruh politik menjadi perisai bagi pelaku kejahatan lingkungan, maka hukum itu sendiri kehilangan martabatnya.
Aktivitas tambang ilegal di wilayah sumber mata air bersih adalah kejahatan besar yang tidak hanya merusak lingkungan, tetapi juga mengancam kehidupan masyarakat yang bergantung pada sumber air tersebut.
Apakah hukum di Pohuwato kini telah berubah menjadi alat perlindungan bagi para penjahat lingkungan, bahkan memberi ruang bagi mereka untuk terus melakukan eksploitasi tanpa takut akan konsekuensi hukum?
Polres Pohuwato harus menjawab pertanyaan-pertanyaan besar ini. Mengapa excavator yang jelas-jelas digunakan untuk aktivitas tambang ilegal dibiarkan masuk tanpa adanya tindakan tegas?
Mengapa informasi dari masyarakat tentang kerusakan lingkungan diabaikan begitu saja? Apakah ini semua karena keterlibatan tokoh politik yang sedang berproses menuju kursi DPRD?
Ataukah karena kuatnya pengaruh Partai NasDem hingga hukum tidak lagi bisa berdiri tegak di hadapan mereka?
Ironi besar ini tidak hanya mencoreng wajah penegakan hukum di Pohuwato, tetapi juga mencederai harapan masyarakat akan keadilan dan keberlanjutan lingkungan.
Jika hukum hanya menjadi alat permainan politik, maka kerusakan lingkungan yang terjadi di Bumi Panua akan menjadi warisan buruk yang sulit diperbaiki di masa mendatang.
Masyarakat Pohuwato kini dihadapkan pada kenyataan pahit bahwa hukum, yang seharusnya menjadi pelindung mereka, justru terlihat berpihak kepada kepentingan pengusaha tambang dan elite politik.
Apakah benar bahwa hukum di Pohuwato telah berubah menjadi ibu dari para penjahat lingkungan?
Ataukah masih ada secercah harapan bahwa keadilan bisa ditegakkan?
Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini akan sangat menentukan nasib lingkungan dan masa depan masyarakat Pohuwato.
Jika aparat penegak hukum, khususnya Polres Pohuwato, terus bersikap pasif dan membiarkan kejahatan ini berlangsung, maka masa depan Bumi Panua akan suram.
Tegaknya hukum bukanlah pilihan, melainkan keharusan demi keberlangsungan hidup dan keadilan sosial.
Opini ini dirancang untuk mengkritisi penanganan hukum atas PETI dan menyoroti hubungan antara kekuatan politik dan lemahnya penegakan hukum.