Faktanews.com, Tajuk – Larangan mutasi pegawai enam bulan sebelum dan enam bulan sesudah Pilkada merupakan kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintah untuk memastikan netralitas birokrasi dan mencegah penyalahgunaan wewenang.
Larangan ini dimaksudkan untuk menjaga integritas proses pemilihan kepala daerah dan memastikan bahwa pejabat tidak memanfaatkan kekuasaan mereka untuk memengaruhi hasil pemilu demi kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.
Namun, kasus yang terjadi di Kabupaten Pohuwato mengundang perhatian. Bupati melalui Sekretaris Daerah diduga telah melakukan mutasi pegawai dengan cara yang cukup unik, yakni melalui pengeluaran Surat Perintah Tugas (SPT) sebanyak dua kali, tertanggal 3 April dan 5 April 2024, untuk orang yang sama, Awaludin Jefri Pakaya, SAP.
Awaludin, yang sebelumnya menjabat sebagai Pengelola Pemanfaatan Barang Milik Daerah di Dinas Komunikasi, Informatika, dan Statistik, pertama kali diperintahkan untuk melaksanakan tugas sebagai Pengolah Data Pelayanan di Kantor Camat Wonggarasi.
Kemudian, dalam SPT kedua, ia juga diperintahkan untuk melaksanakan tugas sebagai Pelaksana Tugas Kepala Sub Bagian Keuangan dan Program di kantor yang sama.
Yang menjadi pertanyaan adalah apakah ini merupakan bentuk inovasi dalam manajemen birokrasi, atau justru manipulasi aturan mutasi yang dilakukan secara halus?
SPT atau Mutasi Terselubung?
Terdapat beberapa hal yang perlu dicermati dalam kasus ini. Pertama, SPT yang diterbitkan hanya berlaku sampai tanggal 5 Juli 2024, namun gaji Awaludin telah dipindahkan ke Kantor Camat Wonggarasi.
Hal ini memunculkan asumsi bahwa SPT tersebut sebenarnya adalah bentuk mutasi terselubung, di mana pegawai tersebut secara de facto dipindahkan secara penuh ke instansi baru meskipun secara de jure ia masih terikat dengan Dinas Kominfo Pohuwato.
Kedua, hingga saat ini, Awaludin Jefri Pakaya masih bertugas di Kantor Camat Wonggarasi dan belum kembali ke Dinas Kominfo Pohuwato.
Hal ini memperkuat dugaan bahwa SPT tersebut digunakan sebagai alat untuk melakukan mutasi pegawai tanpa melanggar aturan secara eksplisit.
Pertanyaannya, apakah ini merupakan inovasi dalam manajemen birokrasi yang sah ataukah sebuah upaya untuk menghindari larangan mutasi yang telah ditetapkan?
Kepentingan Terselubung atau Kepatuhan Hukum?
Tidak dapat dipungkiri bahwa penerbitan SPT ini berpotensi mencerminkan adanya kepentingan tertentu di balik tindakan tersebut.
Kalimat “Atas Nama Bupati” yang tercantum dalam SPT tersebut juga mengundang tanda tanya apakah tindakan ini murni keputusan administratif atau ada pengaruh dari pihak-pihak yang memiliki kepentingan dalam Pilkada mendatang.
Dalam konteks ini, penting bagi masyarakat dan pengawas pemilu untuk memastikan bahwa segala tindakan yang dilakukan oleh pejabat pemerintah menjelang Pilkada benar-benar sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Penggunaan SPT sebagai alat untuk memindahkan pegawai tanpa melanggar aturan mutasi dapat menjadi preseden buruk jika tidak ditangani dengan baik.
Di tengah upaya menjaga netralitas birokrasi dalam Pilkada, kasus ini mengingatkan kita akan pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan pemerintahan.
Jika mutasi pegawai memang diperlukan, seharusnya dilakukan dengan mematuhi aturan yang ada dan tidak dilakukan secara terselubung.
Pemerintah daerah perlu berhati-hati dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan manajemen kepegawaian, agar tidak menimbulkan kecurigaan atau ketidakpercayaan publik.
Pada akhirnya, inovasi dalam birokrasi sangat diperlukan, tetapi harus tetap berada dalam koridor hukum dan etika yang berlaku.
Jika tidak, upaya untuk memperkuat tata kelola pemerintahan justru akan berujung pada krisis kepercayaan dan mengganggu stabilitas birokrasi yang netral dan profesional.