Oleh : Jhojo Rumampuk | Ketua DPD PJS Provinsi Gorontalo
Di tengah gegap gempita perayaan HUT Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-79, semangat nasionalisme seharusnya membara dalam setiap individu dan institusi di negeri ini.
Namun, dalam semangat yang sama, kita perlu merenungkan kembali bagaimana nilai-nilai kemerdekaan itu diterjemahkan dalam tindakan nyata oleh para pemangku kebijakan dan pelaksana pembangunan di daerah, khususnya terkait proyek infrastruktur strategis seperti Pembangunan Kanal Banjir Tanggidaa.
Pembangunan Kanal Banjir Tanggidaa, yang semula dimaksudkan untuk menjadi solusi konkret bagi masalah banjir di daerah tersebut, kini menjadi simbol ketidakberdayaan birokrasi dan lemahnya pengawasan.
Ketika rakyat merayakan kemerdekaan dari penjajahan fisik, kita justru dihadapkan pada fenomena lain. Yakni, penjajahan terhadap kepercayaan dan harapan masyarakat oleh segelintir pihak yang tidak bertanggung jawab.
Dalam pemeriksaan terbaru, ditemukan adanya kelebihan pembayaran senilai Rp1.238,44 juta yang belum dikembalikan, serta kelebihan pembayaran Rp2.573,98 juta untuk pengadaan dan pengiriman Aramco.
Tidak hanya itu, ada juga potensi kekurangan penerimaan daerah sebesar Rp1.474,33 juta akibat jaminan pelaksanaan yang tidak diperpanjang, serta Rp1.038,34 juta dari denda yang belum dikenakan dan dibayarkan.
Angka-angka ini bukan sekadar nominal, melainkan cermin dari lemahnya implementasi prinsip good governance dalam proyek yang semestinya memberikan manfaat besar bagi masyarakat.
Kita harus bertanya. Di mana semangat kemerdekaan dalam hal ini?
Semangat yang seharusnya menggerakkan setiap elemen pemerintahan untuk bekerja dengan penuh integritas, transparansi, dan tanggung jawab. Kelebihan pembayaran dan potensi kerugian daerah bukan hanya kesalahan administratif, ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap rakyat yang seharusnya menjadi penerima manfaat dari proyek ini.
Kemerdekaan yang kita rayakan setiap tahun bukan sekadar merdeka dari penjajahan fisik, tetapi juga merdeka dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme yang merugikan rakyat banyak.
Dalam konteks pembangunan Kanal Banjir Tanggidaa, kita melihat bagaimana praktik-praktik yang merugikan ini masih terus membelenggu kemajuan daerah. Rakyat tidak hanya berhak atas kemerdekaan, tetapi juga atas pembangunan yang transparan, efisien, dan bertanggung jawab.
Dalam momentum perayaan HUT RI ke-79 ini, kita perlu menuntut pertanggungjawaban yang tegas dari pihak-pihak terkait. Pengawasan proyek infrastruktur harus diperketat, dan temuan-temuan seperti ini harus segera ditindaklanjuti dengan tindakan hukum yang jelas.
Pemangku kebijakan harus berani menegakkan aturan, tanpa pandang bulu, demi memastikan bahwa setiap rupiah yang dikeluarkan dari kas negara benar-benar digunakan untuk kepentingan rakyat.
Semangat kemerdekaan seharusnya menginspirasi kita untuk terus berjuang melawan segala bentuk penyelewengan dan penyalahgunaan wewenang.
Jika kemerdekaan hanya dirayakan dengan seremonial tanpa diiringi dengan komitmen kuat untuk memperbaiki tata kelola pemerintahan, maka kita hanya merdeka dalam nama, tetapi masih terbelenggu dalam praktik-praktik yang merusak kepercayaan publik.
Di usia yang ke-79, Indonesia sudah seharusnya menjadi negara yang benar-benar merdeka, merdeka dari segala bentuk korupsi dan ketidakadilan.
Pembangunan Kanal Banjir Tanggidaa seharusnya menjadi bukti nyata bahwa semangat kemerdekaan masih hidup dalam setiap proyek pembangunan di negeri ini.
Namun, jika penyelesaian masalah ini terus berlarut-larut tanpa penyelesaian yang tegas, kita patut mempertanyakan sejauh mana kita telah merdeka dari belenggu birokrasi dan ketidakadilan yang masih terus menghantui negeri ini.
Harapan akan adanya semangat nasionalisme yang membara dalam setiap individu dan institusi semakin kuat. Namun, realitas di Gorontalo memunculkan pertanyaan besar mengenai bagaimana semangat kemerdekaan itu diterjemahkan dalam kinerja nyata, khususnya oleh institusi penegak hukum seperti Kejaksaan Tinggi Gorontalo.
Pembangunan Kanal Banjir Tanggidaa, yang awalnya dimaksudkan sebagai solusi mengatasi masalah banjir di Gorontalo, kini berubah menjadi simbol ketidakmampuan birokrasi dan lemahnya pengawasan.
Temuan terbaru yang mengungkap adanya kelebihan pembayaran senilai Rp1.238,44 juta, serta potensi kerugian daerah lainnya, seharusnya menjadi peringatan bagi Kejaksaan Tinggi Gorontalo untuk segera bertindak tegas.
Kejaksaan memiliki peran krusial dalam menegakkan hukum dan memastikan bahwa setiap pelanggaran yang merugikan rakyat ditangani dengan serius. Namun, hingga kini, kasus ini masih terlihat berlarut-larut tanpa penyelesaian yang jelas.
Publik patut bertanya, apakah penegakan hukum di Gorontalo sudah benar-benar merdeka dari berbagai bentuk intervensi dan kepentingan?
Apakah Kejaksaan Tinggi Gorontalo telah menjalankan tugasnya dengan penuh integritas dalam mengawal proyek ini?
Dalam konteks ini, kinerja Kejaksaan Tinggi Gorontalo perlu dievaluasi. Apakah lembaga ini telah menjalankan fungsi pengawasannya dengan optimal?
Mengapa temuan-temuan seperti kelebihan pembayaran dan potensi kerugian daerah belum direspons dengan langkah hukum yang tegas?
Penundaan dan ketidakjelasan dalam penyelesaian kasus ini hanya akan menambah kekecewaan masyarakat terhadap penegakan hukum di Gorontalo.
Semangat kemerdekaan yang kita rayakan setiap tahun bukan hanya soal bebas dari penjajahan fisik, tetapi juga tentang kebebasan dari praktik-praktik koruptif yang menghambat pembangunan daerah.
Kejaksaan Tinggi Gorontalo seharusnya menjadi garda terdepan dalam memberantas segala bentuk penyelewengan, termasuk yang terjadi dalam proyek Kanal Banjir Tanggidaa.
Jika Kejaksaan Tinggi Gorontalo ingin menunjukkan bahwa mereka benar-benar berpihak kepada rakyat dan negara, maka tindakan konkret diperlukan.
Proses hukum harus berjalan tanpa pandang bulu, dan setiap pelanggaran yang merugikan negara harus ditindaklanjuti dengan sanksi yang tegas. Inilah saatnya bagi Kejaksaan untuk membuktikan bahwa mereka benar-benar bekerja untuk kepentingan rakyat, bukan sekadar menjadi alat bagi kepentingan segelintir pihak.
Di tengah semarak perayaan HUT RI ke-79, rakyat Gorontalo menantikan aksi nyata dari Kejaksaan Tinggi Gorontalo dalam menyelesaikan kasus ini.
Jangan sampai momentum kemerdekaan ini justru ternoda oleh lemahnya penegakan hukum di daerah.
Kejaksaan harus segera bergerak, karena rakyat menunggu keadilan yang sejati, keadilan yang merdeka dari segala bentuk tekanan dan intervensi.
Indonesia sudah 79 tahun merdeka, dan sudah saatnya kita merdeka dari segala bentuk penyelewengan hukum. Kejaksaan Tinggi Gorontalo harus menjadi contoh nyata dari semangat kemerdekaan ini.