Oleh : Jhojo Rumampuk
Pemilihan kepala daerah (Pilkada) adalah momen penting yang menentukan arah masa depan sebuah daerah. Dalam konteks keadilan sosial, konsep penyatuan Timur-Barat telah lama menjadi elemen sentral dalam politik lokal, yang bertujuan untuk menjaga keseimbangan kekuatan dan memastikan representasi yang adil bagi seluruh wilayah.
Namun, dengan mulai hilangnya konsep ini, Pilkada ke depan diprediksi akan dipenuhi oleh berbagai sensasi dan dinamika politik yang tak terduga.
Pertanyaannya kemudian adalah,
- Bagaimana respons masyarakat wilayah Barat terhadap perubahan ini ?
- Apakah mereka akan melawan dan menentukan sikap politiknya sendiri ?
- Ataukah justru mengikuti arus politik yang ada, layaknya “ternak politik” yang digiring tanpa pertimbangan ?
Hilangnya konsep penyatuan Timur-Barat membuka pintu bagi perpecahan dan rivalitas yang lebih intens antara berbagai kelompok dan wilayah.
Aliansi-aliansi politik yang sebelumnya kokoh mungkin mulai retak, dan persaingan antar kandidat bisa menjadi semakin sengit. Tanpa adanya konsep penyatuan yang mengakomodasi kepentingan kedua wilayah.
Pilkada berpotensi menjadi ajang pertarungan politik yang penuh sensasi, di mana isu-isu emosional dan simbolis lebih banyak dimainkan daripada program-program konkret yang bisa membawa perubahan bagi masyarakat.
Dalam kondisi seperti ini, masyarakat wilayah Barat akan menghadapi pilihan yang sulit: Apakah mereka akan berdiri di sisi yang berseberangan, memperjuangkan kepentingan mereka secara mandiri ? Atau, apakah mereka akan mengikuti arus politik yang ada, menerima apapun hasilnya tanpa perlawanan ?
Melawan atau Mengikuti?
Masyarakat wilayah Barat memiliki potensi besar untuk menjadi kekuatan penentu dalam Pilkada mendatang. Jika mereka memilih untuk melawan dan menentukan sikap politik mereka sendiri, hal ini bisa menjadi sinyal kuat bahwa mereka tidak lagi puas dengan status quo.
Mereka mungkin akan mencari kandidat atau aliansi yang lebih mewakili aspirasi mereka, memperjuangkan hak-hak dan kepentingan wilayah Barat secara lebih vokal.
Di sisi lain, ada kemungkinan bahwa masyarakat wilayah Barat, karena berbagai faktor seperti tekanan sosial, ekonomi, atau ketidakpastian politik, mungkin memilih untuk mengikuti arus politik yang ada.
Dalam skenario ini, mereka bisa saja menjadi bagian dari “ternak politik,” yang digiring oleh kekuatan-kekuatan politik dominan tanpa memiliki otonomi penuh dalam menentukan pilihannya.
Namun, sikap apatis atau pasif seperti ini bisa berdampak negatif jangka panjang bagi wilayah Barat.
Tanpa adanya perlawanan atau upaya untuk mempertahankan hak-hak mereka, masyarakat Barat mungkin akan terus terpinggirkan dalam peta politik lokal, dengan semakin sedikit ruang untuk menyuarakan kepentingan mereka.
Hilangnya konsep penyatuan Timur-Barat memang menciptakan ketidakpastian dan membuka peluang bagi terjadinya berbagai sensasi dalam Pilkada mendatang.
Namun, hal ini juga membuka ruang bagi masyarakat wilayah Barat untuk merefleksikan posisi mereka dalam politik lokal.
Masyarakat wilayah Barat perlu mempertimbangkan dengan matang Apakah mereka akan melawan, memperjuangkan hak dan kepentingan mereka dengan lebih tegas? Atau, apakah mereka akan mengikuti arus politik yang ada, dengan risiko kehilangan pengaruh dan representasi yang adil? Pilkada ini bukan sekadar soal memilih pemimpin, tetapi juga tentang menentukan arah masa depan politik dan kesejahteraan wilayah Barat dalam jangka panjang.