Faktanews.com – Tajuk. Banyak orang berpendapat bahwa tantangan bangsa saat ini tentang lahirnya sebuah budaya politik identitas, dengan banyaknya para politisi yang pindah partai ini dinilai seakan mempertontonkan sebuah sikap perlawanan atau sebagai alat untuk menunjukan jati diri bahwa mereka adalah politisi terbaik dari yang terbaik.
Bahkan ada yang mengatakan bahwa mereka adalah bahagian besar yang masuk dalam akumulasi kekecewaan pada partai sebelumnya. Hingga terjadi sebuah konsensus dan Kohesi politik agar hasrat balas dendam secara personal atau bersama-sama hingga wacana yang dibangun dapat terwujud.
Padahal, harapan dan tujuan demokrasi adalah bagaimana para kontestan dari setiap partai politik dapat menjalankan Pemilu yang semakin berkualitas dan terciptanya demokrasi yang sehat.
Sebab, dengan banyaknya daerah yang masih membangun. Banyak yang bergantung pada penggunaan teknologi informasi yang terkadang disalahgunakan. Padahal, tidak sedikit masyarakat yang mengharapkan adanya sebuah kampanye yang berintegritas yang menolak penggunaan politik SARA dan politik identitas, dengan mengedepankan politik ide dan gagasan, karena yang ingin kita bangun bukan demokrasi pengkultusan, bukan demokrasi idola, tapi demokrasi gagasan.
Akan tetapi, masih ada kekurangan akan demokrasi yang ada di bangsa ini yakni buruknya kebebasan berekspresi dan berkeyakinan, hak berasosiasi dan berorganisasi, aturan hukum yang sering dibenturkan dengan sebuah kepentingan serta budaya politik yang “Ortodoks”.
Persoalan ini bukan hanya tentang bagaimana setiap pimpinan pusat hingga daerah menjalankan mandat reformasi tahun 1998. Namun bagaimana setiap pemimpin membuat satu kebijakan untuk menunjukan bahwa setiap daerah mampu menunjukan kematangan berdemokrasi.
Kelahiran politik identitas sejatinya tidak akan berpengaruh dalam menjalankan demokrasi pada pemilu 2024 mendatang dan setiap daerah tidak akan miskin ide dan gagasan hingga mereka akan terlepas dari para perusak dan pemecah bangsa.
Namun, didalam dunia politik. Masyarakat kerap diperlihatkan wujud politisikus yang menyerupai “Bharal” yang diakui oleh dunia akan lompatannya. Yang ternyata bukan saja didataran horizontal, bharal pun mampu melompat di bidang terjal yang bahkan nyaris vertikal dari tebing ke tebing dan bukit ke bukit dengan sangat cepat.
“Urgensinya”, masyarakat seakan dipaksa untuk persepsi liar dan menjadi penganalisa “Meski” mereka tak paham. Kondisi yang mengharuskan publik mencari jawaban sesungguhnya, padahal tak ada yang salah dan perlu diperdebatkan secara mendalam.
Karena masyarakat hanya berkeinginan bahwa politisikus “Bharal” ini tetap berkomitmen memperjuangkan kepentingan khalayak ramai bukan berkomitmen mengambil alih pemerintah dengan cara merebut kekuasaan dan mengabaikan segala kebaikan-kebaikan di dalam dunia politik.
Kebanyakan dari mereka menjadikan kekuasaan dan materi sebagai alasan utama berpindah partai, bahkan diantara mereka kehilangan dan putus urat “malu” saat memamerkan “sebongkah” materi yang didapatkan saat berpindah partai meski kekuasaan yang diinginkan belum mereka dapatkan.
Padahal, para politikus “Bharal” adalah tokoh-tokoh yang sudah dikenal dan pernah menduduki jabatan politik, ada juga yang selalu “sial’ tak pernah menang dan merasakan kekuasaan atau jabatan politik.
Hingga banyak yang mempertanyakan tentang bagaimana proses kaderisasi internal partai yang lebih mementingkan keuntungan elektoral dari pada menjaga ideologi partai demi terciptanya demokrasi sesungguhnya. (Bersambung)
Penulis : Jhojo Rumampuk