Scroll untuk baca artikel
Example floating
Example floating
PolitikTajuk

Elit

×

Elit

Sebarkan artikel ini

Tajuk – Sepuluh tahun setelah “Madiun 1948”, sebuah proklamasi mengejutkan datang dari Padang: Ketua Dewan Banteng, Ahmad Husein, pada tanggal 15 Februari 1958 mendeklarasikan terbentuknya Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI); dengan susunan kabinet terdiri dari, Syafruddin Prawiranegara (Perdana Menteri & Menteri Keuangan), V. Sumual (Panglima AD), M. Simbolon (Menlu), Dahlan Djambek (Mendagri), Burhanuddin Harahap (Menhan & Kehakiman), Moh. Syafei (Menteri P.P & K/Kesehatan), J.F. Warouw (Menteri Pembangunan), S. Sarumpaet (Menteri Pertanian dan Perburuhan), Mochtar Lintang (Menag), M. Saleh Lahade (Menteri Penerangan), A. Gani Usman (Mensos), serta Sumitro Djojohadikusumo sebagai Menteri Perhubungan/Pelayaran.

Dari komposisinya, ada “cita rasa” kolaborasi PSI-Masyumi di sana, dengan suasana kekecewaan berat segelintir perwira militer yang merasa “dikhianati”. Dilihat dari namanya jelas ini bukan protes biasa. Sebuah protes yang serius dan mengancam kedaulatan negara dan merongrong wibawa pemerintahan yang sah. Tapi apakah itu persoalannya? Siapakah yang berkhianat dan dikhianati?

Sejarah kemudian mencatatnya sebagai salah satu jenis pengkhianatan, tapi kemudian sejarah yang menceritakan vonis semacam itu bukannya menyelesaikan persoalan melainkan menyulut banyak pertanyaan, benarkah demikian?

Sumitro Djojohadikusumo, salah satu yang berada di dalam lingkaran vonis sejarah tersebut paling tidak dapat dipelajari sebagai bagian yang berani menunjukkan bahwa ada yang salah dengan cara mengelola negara oleh rezim Bung Karno.

Pada waktu itu, Konstitusi RIS baru saja diganti dengan UUD Sementara 1950 yang secara otomatis sistem ketatanegaraan berubah. Mulailah Indonesia memasuki periode demokrasi liberal, atau demokrasi parlementer dengan corak khas: jalannya pemerintahan sangat bergantung kepada konfigurasi partai politik di parlemen; atau pendek kata, partai politik sumber kekuasaan.

Faksionalisasi nasional sepanjang tahun 1950-1960 telah memperlihatkan pada kita tentang efek mengerikan dari perpecahan dan konfrontasi antarelit antarpartai yang berlangsung baik secara diam-diam maupun terbuka. Bila kita obyektif, tidak sulit menemukan kritik Bung Karno terkait hal ini utamanya terhadap partai-partai politik, bukan hanya dari segi jumlahnya yang banyak, tapi pada intrik dan aliansi pura-pura serta konfrontasi antarelit antarpartai yang berlangsung dapat menyebabkan perpecahan bangsa. Persis di situ, yakni pada ketidakmampuan para elit partai politik untuk duduk bersama memecahkan persoalan-persoalan kebangsaan secara bersama-sama. Sederhana sekali. Namun makin terlihat tidak sederhana karena kemudian perpecahan yang terjadi di kalangan para perwira ditambah keinginan berpolitik yang kuat di kalangan mereka membuat kenyataan politik sepanjang tahun 1950-an sampai 1960an benar-benar membara.

Pemberontakan Kahar Muzakar, DI/TII, NII di Aceh; lebih dalam lagi misalnya Peristiwa 17 Oktober 1952, Peristiwa 27 Juni 1955, serta pembentukan “Dewan-dewan Daerah”; adalah sekelumit gerakan yang menciptakan efek beruntun dan memencar di mana PRRI (dan Permesta) adalah bagian yang tak bisa dibaca terpisah. Sebagaimana juga bila kita membaca riwayat kabinet-kabinet yang terbentuk sepanjang era demokrasi liberal/parlementer—Natsir, Wilopo, Ali-Wongso, Burhanuddin Harahap, Ali (II), Djuanda—yang rata-rata hanya berusia satu setengah tahun, dengan persoalan ekonomi yang melilit negara, dari sini tembakan Sumitro bertolak.

Tentu Bung Karno tak keliru mengenai penekanan yang selalu diulang-ulangnya dalam banyak kesempatan itu dan berujung pada pembubaran PSI & Masjumi. Sumitro Djojohadikusumo juga tentu tidak keliru melemparkan tudingan “ketidakbecusan” terhadap rezim Bung Karno karena soal ekonomi.

Ya. Benar. para pemimpin seperti Bung Karno harus mengambil resiko, dan terutama bersikap. Bukankah hal yang sama juga harus dilakukan pemikir cemerlang seperti Sumitro Djojohadikusumo?

Sumitro adalah perancang Rencana Urgensi Perekonomian (RUP) bersama Saroso Wirohardjo, rancangan ini diumumkan beberapa minggu setelah Kabinet Natsir jatuh (Maret 1951). Pemerintah merespon dan membuat “Program Banteng”. Namun rencana dan program tersebut mendapatkan kritik tajam dari Sjafruddin Prawiranegara, seorang yang kemudian ditunjuk sebagai Perdana Menteri PRRI di mana Sumitro Djojohadikusumo—yang dikritiknya—merupakan salah satu menterinya. Bagaimana semua ini bisa terjadi?

Itulah mereka para tokoh, mereka berani berbeda, termasuk Sumitro bukan hanya dengan Bung Karno, tetapi juga dengan Hatta. Dan lalu dia juga akhirnya mengambil keputusan berbeda dengan Sjafruddin. Dan ketika dia memiliki kesempatan untuk mengklarifikasi dia justru menempatkan Bung Karno sebagaimana mestinya sebagai sosok pemimpin yang dihormati; dia juga menyatakan konsep Sjafruddin-lah yang tepat.

Tentu setiap perbedaan mereka selalu punya alasan yang kuat dan tidak sekadar pertimbangan logis di sana. Tak mudah kita beri kesimpulan dikotomik di situ—meski sayangnya kita mudah tenggelam dalam dikotomi dan lalu mengambil kesimpulan sendiri.

Saya kira apa yang ditulis Tarli Nugroho tentang Sumitro—kalau pun kesaksian Sumitro dalam wawancara yang dilakukan Tempo (1999) tak cukup menjernihkan persoalan; juga buku Jejak Perlawanan Begawan Pejuang (Sinar Harapan, 2000) dianggap subyektif belaka—dalam pengantar buku Dawam Rahardjo tentang Sumitro dan LP3ES. Ada framing obyektif di sana dalam memeriksa Sumitro, bahwa “sebagai aktifis politik, Sumitro memang sering jadi obyek serangan politik, sekaligus jadi obyek kesalahpahaman.”

Sumitro tak hanya tenggelam dalam vonis sejarah pengkhianatan, tapi juga dituduh harus bertanggungjawab terhadap apa yang dilakukan para “Mafia Barkeley”. Dia ditunding sebagai “biangnya”. Tapi apakah demikian? Lagi-lagi textbook sejarah kesulitan menjelaskannya.

Jangankan memeriksa Sumitro, sejarah kemudian juga tak dapat berbuat banyak dalam memeriksa sikap-sikap politik dan pemikiran Bung Karno—seorang dengan semboyan “jangan sekali-kali meninggalkan sejarah!”

Penulisan sejarah kita mungkin sedikit mengalami perbaikan semenjak reformasi digulirkan, tapi pemahaman sejarah kita tentu saja masih jauh dari kata berubah.

Sejarah memang tak hanya ditulis dengan tinta, tapi juga dengan darah, bila pengandaian semacam itu dapat diterima kiranya sejarah tak hanya tentang mereka yang menang tetapi juga mereka yang kalah; atau mereka yang berada di dalam dikotomi menang-kalah dan lalu itulah yang diwariskan turun-temurun. Apakah sejarah seperti itu memang layak?

Hari ini, tiap kali musim politik tiba, kita selalu mengulang kebiasaan biadab: berkonflik, ngintrik, beraliansi pura-pura serta menjual-jual sejarah yang dikotomistik. Situasi kita sebenarnya hampir sama dengan situasi politik tahun 50an-60an. Demokrasinya liberal/legislative heavy hasil produksi UUD 1999-2002 amandemen. Partai-partai menentukan kekuasaan. Institusi-institusi hukum sibuk mengadili bias dari konflik politik. Para elit berkonfrontasi secara terbuka maupun diam-diam.

Pelajaran yang dapat dipetik dari sikap kritis Sumitro dan keputusan politik Bung Karno adalah contoh bagaimana memperjuangkan persatuan dan kesatuan bangsa; di samping mengajukan kritik yang membangun terhadap penguasa.Ada gagasan-gagasan besar yang hidup dan diperjuangkan oleh keduanya.

Maka, kini, di luar konteks lobi-lobi koalisi dan segala formalitas politik menjelang Pilpres 2019, para elit harus mulai memberi contoh berpikir dan bertindak yang baik dan tepat bagi rakyat, bagi negara. Elit dari trah mana pun dia tak terkecuali Prabowo Subianto harus berani berbeda karena gagasan-gagasan besar yang diperjuangkan; dan berani untuk melawan sesama elit ketika tak ada gagasan besar tapi terus memproduksi konflik. Ini waktu yang tepat bagi elit seperti Prabowo membuktikan dirinya bahwa kepentingan bangsa harus diutamakan di atas segala kepentingan partai apalagi segelintir elit yang selalu mendesakkan kepentingannya. Waktunya Prabowo menunjukkan dia layak karena punya gagasan besar. Bukan dia layak karena ditunjuk partai dan harus memenuhi kewajibannya kepada partai-partai koalisi. Dia layak untuk menggantikan Joko Widodo yang menurutnya keliru mengelola negara. Begitulah semestinya kesatria bertarung. Dengan begitu dia telah membedakan mana petugas partai dan mana pejuang politik. Namun bila ternyata Prabowo ingin bertarung karena gengsi partai dan koalisi, maka, sebaiknya dia mundur saja dan menyaksikan seorang pemimpin yang dengan segala kekurangan dan keterbatasan senantiasa memberikan penghormatan terhadapnya bertarung lagi di Pilpres 2019. Sebab Joko Widodo juga punya hak konstitusional dan harus memperbaiki semua yang dianggap gagal, oleh para oposan seperti Prabowo, selama menjabat presiden.

Ya, para elit harus memulai tradisi baik dan memutus tradisi buruk. Para elit politik. Para elit purnawirawan. Para elit agama. Mereka digugu dan ditiru. Mereka panutan.

Dan sebelum menyimpulkan tulisan saya ini secara sepihak dan membabi-buta, tahukah kita arti kata elit? Elit adalah Orang-orang terbaik, atau pilihan dalam suatu kelompok.

Pengertian di atas perlu saya kemukakan mengingat saat ini bahasa kita telah tercemar oleh bahasa-bahasa brutal dan penuh kebencian serta dipenuhi orang-orang yang menggunakannya secara lazim.

Tulisan ini pernah dimuat di halaman Facebook Susanto Polamolo 22 April 2018.


Penulis: Susanto Polamolo, pengetua Sabua Buku

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Akses berita Faktanews.com dengan cepat di WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029Vae1Mtp5q08VoGyN1a2S. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya. Example 300x300
Example 120x600