Oleh : Jeffry As. Rumampuk
Faktanews.com (Opini Politik) – Kota Gorontalo, Menilik seluruh hasil Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) sebagai proses hasil otonomi daerah yang berawal dari proses reformasi, tentu kita selalu dihiasi dengan kata Politik dan janji – janji para calon yang memang hal itu tidak dapat dipisahkan. Bagaikan sepasang “suami-istri” yang tak dapat dipisahkan. Maka boleh dikatakan, tidak ada politik tanpa janji.
Keterbukaan dalam keniscayaan demokrasi, bisa diibaratkan kepada seorang pemimpin yang terbuka untuk menerima kritik dari rakyatnya karena itu lebih terhormat dan disegani. Diantara itu, dia mampu menampung banyaknya saran sebagai bentuk motivasi dan apresiasi yang kemudian akan membuat sang pemimpin itu dianggap hebat dihadapan siapapun.
“ Keterbukaan, dengan demikian, menjadi mutlak karena pemimpin tidak lain dan tidak bukan adalah perpanjangan tangan dari rakyat.”
Keterbukaan yang dimaksud dalam konteks ke Indonesiaan itu salah satunya diterjemahkan dalam bentuk “kontrak politik”. Dimana lewat wadah ini, rakyat bisa menyampaikan aspirasi dan keinginan-keinginannya yang kemudian diapresiasi dan ditindak lanjuti oleh seorang pemimpin dalam wujud program kerja.
Kontrak politik pada awalnya dimaksudkan sebagai sebuah komitmen dan kepastian dalam mengemban amanah yang diberikan oleh rakyat. Kontrak politik juga menjadi penegas bahwa seorang pemimpin sudah seharusnya memahami apa yang dikehendaki oleh mereka yang dipimpin. Namun hal ini sepertinya tidak berjalan mulus, dalam perjalanannya ternyata kontrak politik itu hanya menjadi wahana dan bahasa politik yang bersifat formalitas belaka. Tidak memiliki dampak apa-apa terhadap kehidupan rakyat, kecuali pembohongan dan penghianatan kepada khalayak banyak (ini fakta & sering terjadi di daerah di Indonesia) termasuk pada Pilwako Kota Gorontalo.
Hal ini tentu berpijak pada logika ” untung rugi “ si calon pemimpin dan kompetisinya. Menurut A. Yusgiantoro Lega (2013), logika “untung-rugi” sangat dominan dan selalu menjadi prinsip dasar para politisi kita. Panggung politik tak ubahnya ladang bisnis, bagi siapa yang memiliki modal kemudian bersatu pada pentas politik pasti keuntungan materi yang akan didapat karena sungguh menggiurkan.
Nah, Disitulah genderang perang para pedagang politik (political merchandise) sebagai bahagian dari kompetisi pun mulai ditabuh. Para insan politik berlomba-lomba mengadu nasib dalam bisnis politik yang menjanjikan itu. Melalui partai – partai politik yang mereka (Calon Pemimpin) tunggangi, pasti akan dipertaruhkan demi dan untuk kepentingan pragmatis, tidak ada kemaslahatan umat sebagaimana juga tidak ada keadilan sosial yang mereka perjuangkan. Sebab, didunia ini para pedagang politik, pola yang akan dipakai adalah logika untung rugi, di mana cita-cita keadilan sosial hanyalah sebuah jargon saja. Dan sadar atau tidak sepertinya Pilkada selama ini telah melahirkan banyak penderita politik alias politicking karena di beri “ gula – gula soba’ (Permen tradisional Gorontalo) politik dari para kandidat (tidak terkecuali).
Dalam perspektif dan lenskap perpolitikan daerah khususnya di Gorontalo, kita pasti akan banyak menjumpai banyak fenomena dan masalah yang beragam. Proses pilkada meniscayakan para kandidat kepala daerah untuk menyusun visi dan misi, kemudian melakukan proses kampanye sebagai bentuk penegasan atas janji dan komitmen mereka terhadap masyarakat dan melakukan konsolidasi politik demi skema dan strategi pemenangan. Tentu ini merupakan hal yang sangat wajar dalam setiap momentum pilkada, namun kita pun berharap proses demokrasi tersebut berjalan dengan efektif dan produktif.
Sekarang marilah kita mencoba menelaah dan mengingat kembali janji-janji politik para calon kepada daerah di Gorontalo termasuk pada Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Gorontalo (Pilwako) sebelum – sebelumnya, disaat melakukan proses kampanye dan ketika terpilih. ternyata ada banyak kejanggalan yang akan kita dapatkan bersama. Pada akhirnya, janji politik itu hanyalah sebuah kata manis dan draft yang sifatnya normatif yang menipu publik karena rata – rata masih menganut perspektif untung rugi, Kenyataan tersebut hampir kita bisa dapatkan di semua daerah di Indonesia dan di Gorontalo khususnya. Maka wajar ketika munculnya kritik dan sifat apriori terhadap pemerintah akibat dari hadirnya kenyataan tersebut.
Terakhir, Semoga kedepan proses pilkada khususnya pada Pilwako Kota Gorontalo ini, dapat melahirkan sosok pemimpin yang tetap komitmen dan konsisten pada perjuangan ideologinya yakni berkontribusi pada rakyat. Janji politik terealisasi, hak-hak masyarakat menjadi prioritas pembangunan, kebijakan yang produktif terus di dorong, dan janji-janji kampanye tidak terkhianati.
Jika masih ada yang menjanjikan ini dan itu termasuk menawarkan kontrak politik, tentu kita harus berfikir kembali berdasarkan realita hasil beberapa Pilkada secara keseluruhan. Kita pun berharap pilwako Gorontalo Tahun 2018 ini berlangsung secara sehat dan demokratis. Karena esensi berdemokrasi adalah melahirkan kepemimpinan dan pemerintahan yang baik. (***)