Perhelatan musyawarah daerah DPD KNPI Kabupaten Pohuwato telah usai. Ritme stratak dan siasat politik serta dinamika organisasi yang cukup kompleks telah menghantarkan Bung Fachmi Mopangga resmi menjadi ketua umumnya. Terlepas dari hembusan issue yang bertiup bahwa ada campur tangan “The Invisible Hand” yang telah mengkondisikan kemenangannya tentu secara pribadi ini menjadi prestasi yang membanggakan bagi Bung Fachmi dan team pemenangan. Pernah menjabat Ketua Umum HMI Cabang Limboto dan Mantan Ketua Umum Badko HMI Sulawesi Utara – Gorontalo (Sulutgo) dan sederet prestasi manajerial organisasi lainnya menjadikan penulis begitu yakin akan kapasitas dari pemimpin KNPI Pohuwato saat ini. Jika K.H Agussalim pernah mengatakan bahwa “Leiden is Lidjen” memimpin adalah menderita, maka penulis pun sangat yakin jika bung ketua KNPI Pohuwato telah mewakafkan dirinya sendiri untuk menjadi penampungan “penderitaan” yang di dera oleh pemuda dan utamanya masyarakat Pohuwato.
Apa kabar KNPI Pohuwato? Pertanyaan ini sebenarnya pertanyaan klasik yang biasa menjadi pembuka basa-basi obrol obral kata. Walau demikian, pernyataan yang tidak penting ini akan menjadi sangat penting dan bukan sekedar bentuk basa-basi lagi jika kita ingin mengembalikan marwah KNPI sebagai pelopor gerakan kepemudaan. Tulisan ini sengaja ditulis untuk menjadi langkah awal dan spirit bagi penulis yang juga adalah bagian dari fungsionaris struktural KNPI Pohuwato, organisasi kepemudaan nasional yang sempat kontroversi di zaman runtuhnya orde baru, organisasi yang hampir dibubarkan kala itu.
Bagi penulis, KNPI harus bisa keluar diri dari stigma buruk yang membentuk kesan KNPI adalah organisasi “pelat merah”, tempat menghimpun dan mereduksi gerakan kritis OKP yang tergabung dalamnya.
Kita semua tentunya sepakat jika selama organisasi kepemudaan ini masih tetap menjadi alat pemerintah untuk membungkam sikap kritis kelompok muda lain dalam memberi solusi dan bersatu melindungi harkat dan martabat bangsa serta bersatu memperjuangkan nasib kaum tertindas dan kaum yang tidak mendapatkan ketidakadilan, maka selama itu pula KNPI tak ubahnya kerikil tajam yang dilempar salah sasaran. Kasus Sandalan dan Sawit di Kecamatan Taluditi dan beberapa kasus di Kabupaten Pohuwato yang belum tuntas lainnya sangatlah tidak elok jika dibiarkan menguap begitu saja tanpa ada gerakan dari KNPI seperti pada kepengurusan sebelumnya.
Ditambah lagi dengan kehadiran unsur OKP bercorak parpol yang terkesan ikut mengamini gerakan reduktif KNPI, kehadiran unsur-unsur pemuda dan OKP seperti ini bak gadis manis dihadapan lelaki hidung belang, KNPI begitu menarik dan memikat penguasa untuk merebut dan meminangnya. Bahkan ketergabungan OKP ini terindikasikan sebagai bentukan Rezim berkuasa untuk mengkebiri kekritisan kaum muda. Hal ini dikuatkan dengan berafiliasinya KNPI dengan parpol yang berkuasa saat ini yang pada akhirnya membuat KNPI mulai kehilangan orientasi gerakannya karena mendukung rezim yang otoritarian.
Sehingga hemat penulis kemudian, bahwa amat wajarlah kalau saat ini hujan kritik dan keraguan orang akan serupa dengan titik air yang membentuk bah besar dan tak sanggup di bendung lagi volumenya hingga pada akhirnya berujung pada tsunami tuntutan untuk membubarkan KNPI. Kalau hal itu muncul siapkah KNPI membubarkan diri, atau perlukah KNPI dibubarkan sesuai dengan aspirasi yang berkembang? Kalau memang tidak perlu dan tidak siap, maka setidaknya KNPI harus menunjukan dan membuktikan eksistensi dan perannya, bukan hanya pada kegiatan ceremonial menghabiskan kas daerah dengan forum-forum diskusi tanpa out put yang nyata dilapangan. Tidak hanya itu, konsolidasi dan komunikasi yang dilakukan dilapangan diharapkan adalah komunikasi langsung ke bawah tidak hanya pada tataran elit saja. Hal ini tentu akan lebih akomodatif terhadap aspirasi kaum bawahan ketimbang elit politik yang tentu kita tahu bagaimana taraf hidupnya.
KNPI sepertinya tidak punya lagi gagasan dan gerakan strategis lagi untuk membela pemuda dan rakyat, KNPI hanya menjadi mobilitas vertikal untuk meraih jabatan politik publik atau menjadi lahan penghidupan yang mengatas namakan rakyat dan kaum muda. Belum lagi KNPI yang seharusnya mewadahi seluruh pemuda telah diposisikan sebagai organisasi kepemudaan eksklusif, sehingga fungsinya sebagai wadah pemuda terbiaskan dan memunculkan sebuah wadah baru yang hanya menaungi OKP tertentu atau hanya merangkul segelintir kalangan saja.
Jangan sampai KNPI kehilangan momentum dan membuatnya ditinggalkan oleh organisasi kepemudaan. Jika hal ini terjadi maka kiamatlah dunia pemuda dan saatnya kita benamkan dalam – dalam kedasar samudera titah Maha Muda Soekarno tentang pemuda dan kekuatan perubahannya.
Jika potret pemuda yang terorganisir sekelas KNPI saja telah terdegradasi ke pusaran kekuasaan bagaimana dgn pemuda yang tak berkecimpung pendidikan dan organisasi? Tentunya ini menjadi tantangan besar bagi kita pemuda. Jika di akhir orba KNPI pernah diwacanakan untuk dibubarkan maka lahirlah Idrus Marham selaku ketua umum saat itu dengan konsep Rejuvenasi KNPI. Idrus Marham menawarkan penyegaran kembali peran KNPI di tengah realitas politik nasional. Rejuvenasi ini akhirnya memaksakan KNPI untuk independen dan kembali memposisikan pemuda sebagai mitra kritis pemerintah. Hal ini kemudian mengembalikan citra KNPI dan sedikit mengobati kondisi KNPI dari penyakit komplikasi politiknya.
Pertanyaan kemudian apakah KNPI Pohuwato di kepengurusan kali ini mampu melahirkan gagasan yang mampu menjawab kondisinya saat ini?
Mampukah pengurus KNPI Pohuwato yang sebagian besar adalah tim kerja Bupati dan anggota DPRD serta Birokrat secara profesional memisahkan antara tugas individunya dengan tugas dan kewajiban sebagai anggota KNPI sebagai mitra kritis pemerintah? Jawabannya tak akan lama lagi kita dapatkan di kepengurusan KNPI Kabupaten Pohuwato Periode 2017-2018.