![]() |
Captioin : Ilustrasi |
Faktanews.com (Daerah) – Gorontalo, Dalam menjalankan tugasnya sebagai bagian dari keseluruhan tenaga kesehatan yang ada di Indonesia, seorang tenaga kesehatan,baik seorang perawat, bidan ataupun tenaga kesehatan lainnya tentunya membutuhkan surat tanda registrasi (STR).
Dikeluarkannya Peraturan Menteri Kesehatan (PMK) nomor 1796 tahun 2011 tentang Registrasi Tenaga Kesehatan sebagai pengganti PMK nomor 161 tahun 2010 tentang Registrasi Tenaga Kesehatan membuat tenaga kesehatan yang ada diharuskan memiliki surat tanda registrasi selain ijazah yang dikeluarkan oleh perguruan tinggi penyelenggara pendidikan kesehatan, hal ini juga berlaku bagi tenaga kesehatan asing.
Dalam PMK nomor 1796 tahun 2011 seluruh tenaga kesehatan diwajibkan memiliki surat tanda registrasi yang disebut sebagai STR, bagi yang belum memiliki STR atau surat izin dan lulus dari pendidikan sebelum tahun 2012 dapat diberikan STR berdasarkan peraturan ini atau yang dimasyarakat dikenal dengan pemutihan tanpa dilakukan uji kompetensi.
Bagi lulusan pendidikan tahun 2012 dan seterusnya untuk mendapatkan STR diwajibkan mengikuti uji kompetensi nasional yang diselenggarakan oleh MTKI (Majelis Tenaga Kesehatan Indonesia) diperguruan tinggi yang terakreditasi, dengan uji kompetensi tenaga kesehatan akan memperoleh Sertifikat Kompetensi. MTKI akan memberikan Sertifikat Kompetensi kepada peserta didik pada waktu pengambilan sumpah.
Inilah dasar dan aturan pemerintah Indonesia dalam pengaturan pembuatan registrasi tenaga kesehatan. Akan tetapi, fakta menunjukan bahwa sarana dan prasarana pendidikan kesehatan di setiap institusi penyelenggara sangat beragam sehingga secara logika tentunya akan berpengaruh terhadap kualitas lulusan yang dihasilkan sehingga terjadi ketimpangan antara satu institusi dengan institusi lain.
Pemerintah sebaiknya berupaya menyelesaikan masalah secara bottom up artinya bahwa penyelesaian masalah dimulai dari institusi penyelenggara terlebih dahulu, untuk meningkatkan kualitas lulusan tenaga kesehatan pemerintah harus lebih intens melakukan monitoring, pembinaan serta evaluasi eksternal terhadap institusi penyelenggara pendidikan kesehatan agar tetap berada dalam standar yang ditentukan, tidak membiarkan berjamurnya institusi penyelenggara pendidikan kesehatan yang tidak memiliki kapasitas dan kapabilitas sesuai standar.
Karena pada akhirnya akan menimbulkan masalah serta kerugian dimana masyarakatlah yang akan menjadi korbannya. Berdasarkan hasil wawancara faktanews.com kepada salah satu lulusan Perguruan tinggi Kesehatan Gorontalo yang identitasnya tidak ingin dipublikasikan, menuturkan
“Akankah masa depan kami dibatasi oleh secarik kertas yang disebut STR? Kami telah menempuh ilmu profesi kami, kami telah melakukan praktek dan kami pula telah mendapatkan gelar profesi kami. Dan itu tidak mudah. Bukan soal persoalan Lulus Kompetensi atau tidak, akan tetapi apakah kami hanya bisa diam atau bahkan STR tak kalah pentingnya dengan Ijazah yang kami tempuh 3-4 tahun lamanya dibandingkan Ujian Kompetensi yang hanya berlangsung 3 jam?”
Antara pendidikan dan karir berbanding sejajar. Jika seseorang memiliki pendidikan tinggi biasanya juga akan mendapatkan karir yang cemerlang. Hal tersebut tidak mutlak, masih ada orang sukses, punya karir cemerlang dibidangnya, namun tidak pernah bersekolah tinggi secara formal, contoh nyata Menteri Perikanan dan Kelautan, Susi Pudjiastuti yang hanya tamatan SMP. Bahkan sebaliknya, di indonesia banyak pengangguran terdidik yang memiliki ijazah sarjana yang tak punya karir apa-apa sesuai dengan ijazah yang ia miliki.
Dapat kita bayangkan disini bahwa sekian tahun proses pendidikan yang dilalui ternyata hanya ditentukan oleh selembar sertifikat kelulusan uji kompetensi. Pertanyaan besar muncul, bisakah hal itu menjadi jaminan lulusan telah kompeten? Jawaban pertanyaan tersebut menjadi tidak jelas karena kita belum melihat bagaimana hasil dari uji kompetensi tersebut.? (Raff)